Satukata yang paling tepat adalah "bijaksana". Alkitab ingin setiap orang percaya memiliki sikap yang bijaksana terhadap uang maupun kekayaannya. Ketika seseorang memiliki sikap yang bijaksana terhadap uang, maka dalam segala hal yang berhubungan dengan uang, dia akan berlaku bijaksana juga, misalnya dalam motivasinya untuk mendapatkan uang

3. Sikap Kristen terhadap sikap Kristen terhadap budaya? Ini merupakan pergumulan yang serius dari orang percaya sepanjang masa. Neibuhr menguraikan bahwa sepanjang sejarah telah diberikan berbagai jawaban yang sangat berlainan terhadap soal perhubungan anatara agama Kristen atau gereja dengan kebudayaan. Pendekatan Neibuhr ini sangat bermanfaat bagi gereja gereja di Indonesia. Dr. J. Verkuy membahas pandangan Neibuhr ini dalam bukunya Etika Kristen dan kebudayaan. Menurut Neibuhr ada lima macam, sikap umat Kristen terhadap kebudayaan antara lain1. Skap Antagonistis Sikap Menentang atau menolakSikap Kristen yang antagonistis adalah sikap yang melihat pertentangan yang tak terdamaikan antara agama dengan kebudayaan. Akibatnya orang Kristen harus menolak dan menyingkirkan kebudayaan dari dalam hidupnya. Sikap seperti ini kita temukan dalam pengajaran Tertulianus. Dia menyerukan Apakah sangkut pautnya Yerusalem dengan Athena?. Ini berarti bahwa antara iman dan kebudayaannya tidak ada hubungan nya. Kebudayaan adalah bersangkut-paut dengan berhala-berhala seperti permainan, tari-tarian, sandiwara, militer dll. Dan semua itu harus di jauhkan dari kehidupan pietis, aliran ini cendurung menganggap bahwa kebudayaan semata-mata sebagai kekuatan iblis. Akibatnya banyak orang Kristen mengungkapkan bahwa segala yang berbau budaya adalah dosa. Mereka menyerukan singkirkanlah kebudayaan, Hal ini dengan jelas kita temukan dalam aliran sanksi jahowa dan juga Sikap Akomodasi dan akomodasi dan kapitulasi berarti menyesuaikan diri dengan kebudayaan yang ada. Dengan demikian maka pada hakekatnya agama Kristen sering sekali dikorbankan untuk kepentingan budaya. Beberapa contoh dan tokoh yang mempopulerkannya anatara lain Klemens dari Alexandria dan Orogenes. Mereka pernh menyesuaikan Injil dengan filsafatpluto. Mereka menganjurkan supaya Yerusalem menyesuaikan diri dengan Athena. Ini berarti agar orang Kristen menyesuaikan diri dengan filsafat kafir. a. Pada abad-abad pencerahan di Eropah Aufk-lerungpada zaman ini dan berikut yakni abad ke- I 8, 19 banyak orang Eropah, Amerika yang menyamakan agama Kristen dengan rationalism, humanism dan liberalism. Mereka kurang melihat dosa dalam kebudayaan yang pada waktu itu sangat pesat perkembangan nya. Mereka juga tidak bersifat kritis pada kebudayaan. Mereka tidak tau pada saat itu kebudayaan barat telah rusak oleh sifat coraknya yang rationalistis,materialistis, mantinonistis dan imperialistis.
PemahamanMengenai Injil, Kebudayaan dan Ideologi. Injil dipahami sebagai kabar baik dan terkait erat dengan Yesus Kristus dan karya keselamatan-Nya. Kepada murid-murid Yohanes, yang menanyakan kehadiran Mesias, Yesus menunjuk kepada pekerjaan dan pelayanan-Nya: membangkitkan orang mati (Mat. 11:4-5). Sekalipun tidak langsung menyebut diri-Nya
ArticlePDF Available AbstractGereja Kristen Jawa GKJ adalah gereja yang lahir buah penginjilan para misionaris Barat dalam hal ini Belanda di tanah Jawa. Peri kehidupan bergereja diatur sedemikian rupa berdasar dogma gereja Belanda. Latar belakang tersebut menyebabkan GKJ tercerabut dari akar budaya sehingga segala praktik yang berkaitan dengan adat istiadat Jawa tidak diizinkan masuk wilayah pelayanan tersebut menjadi data kajian dalam tulisan ini sehingga tampak wajah baru GKJ yang pada akhirnya menerima budaya sebagai bagian integral pelayanan gereja. Kajian dari perspektif sejarah menunjukkan kehidupan GKJ yang mengalami perubahan paradigma khususnya terkait budaya. Analisis atas fenomena GKJ menghasilkan deskripsi autentik landasan GKJ membuka paradigma praktik bergereja sehingga menerima budaya menjadi bagian integral pelayanan gereja. Melalui paradigmanya yang baru, GKJ semakin berbenah dan semakin terbuka dalam memanifestasikan budaya Jawa sebagai kekuatan gereja untuk menghadirkan diri menjadi bagian holistik masyarakat Jawa. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for freeContent may be subject to copyright. Vol 4, No 1, September 2021; 60-81 ISSN 2654-5691 online; 2656-4904 print Available at Copyright© 2021; Jurnal Teologi Berita Hidup, ISSN 2654-5691 online, 2656-4904 print60 Pandangan Gereja Kristen Jawa GKJ Terhadap Budaya Dalam Konteks Masyarakat Jawa Uri Christian Sakti Labetiuri_christ Abstract The Javanese Christian Church GKJ is a church that was born as the fruit of evangelism by Western missionaries in this case the Netherlands in Java. The fairy life of the church is arranged in such a way based on the dogma of the Dutch church. This background caused GKJ to be uprooted from its cultural roots so that all practices related to Javanese customs were not allowed to enter the church's service area. This history becomes the study data in this paper so that a new face of GKJ appears which ultimately accepts culture as an integral part of church ministry. The study from a historical perspective shows that GKJ's life has undergone a paradigm shift, especially regarding culture. The analysis of the GKJ phenomenon produces an authentic description of the basis of GKJ opening the paradigm of church practice so that it accepts culture as an integral part of church service. Through its new paradigm, GKJ is getting better and more open in manifesting Javanese culture as the power of the church to present itself as a holistic part of Javanese society. Keywords GKJ; anti-culture; the novelty of the paradigm; culture in church practice Abstrak Gereja Kristen Jawa GKJ adalah gereja yang lahir buah penginjilan para misionaris Barat dalam hal ini Belanda di tanah Jawa. Peri kehidupan bergereja diatur sedemikian rupa berdasar dogma gereja Belanda. Latar belakang tersebut menyebabkan GKJ tercerabut dari akar budaya sehingga segala praktik yang berkaitan dengan adat istiadat Jawa tidak diizinkan masuk wilayah pelayanan gereja. Sejarah tersebut menjadi data kajian dalam tulisan ini sehingga tampak wajah baru GKJ yang pada akhirnya menerima budaya sebagai bagian integral pelayanan gereja. Kajian dari perspektif sejarah menunjukkan kehidupan GKJ yang mengalami perubahan paradigma khususnya terkait budaya. Analisis atas fenomena GKJ menghasilkan deskripsi autentik landasan GKJ membuka paradigma praktik bergereja sehingga menerima budaya menjadi bagian integral pelayanan gereja. Melalui paradigmanya yang baru, GKJ semakin berbenah dan semakin terbuka dalam memanifestasikan budaya Jawa sebagai kekuatan gereja untuk menghadirkan diri menjadi bagian holistik masyarakat Jawa. Kata-kata kunci GKJ; anti budaya; kebaruan paradigma; budaya dalam praktik bergereja Pasca Institut Agama Kristen Negeri Ambon Jurnal Teologi Berita Hidup, Vol 4, No 1, September 2021 Copyright© 2021; Jurnal Teologi Berita Hidup, ISSN 2654-5691 online, 2656-4904 print61 PENDAHULUAN Usaha pekabaran Injil yang dilakukan oleh orang-orang Eropa di wilayah Nusantara terjadi pada abad XVII-XIX, khususnya di Indonesia wilayah Timur. Pada dasawarsa pertama abad XIX, usaha pekabaran Injil tersebut mulai merambah wilayah Barat bumi Nusantara. Tanah Jawa menjadi salah satu destinasi kedatangan para penginjil dari Belanda untuk memperkenalkan kekristenan kepada orang-orang Jawa yang saat itu masih menganut agama lokal. Lombard mencatat bahwa upaya orang-orang Belanda memperkenalkan kekristenan sebagai sebuah kenyataan sejarah yang menampakkan keterbukaan orang-orang Jawa terhadap agama baru tersebut. Usaha tersebut membuahkan hasil yang cukup signifikan. Orang-orang Jawa yang berada di wilayah Jawa Tengah bagian Selatan, saat itu menerima kekristenan sebagai kebaruan spiritual selain kearifan lokal yang telah diyakini, sehingga pada tanggal 17 Februari 1931 dalam Sidang Sinode pertama yang diadakan di Kebumen, secara resmi berdirilah gereja-gereja dengan nama diri Pasamoewan Gereformeerd Djawi Tengah Gereja Gereformeerd di Jawa Tengah yang kemudian berubah menjadi Gereja Kristen Jawa GKJ.Berdasarkan dokumen sejarah, tercatat bahwa pada tahun 1939 GKJ terdiri atas 65 gereja yang tergabung dalam 7 klasis semuanya ada di wilayah Jawa Tengah bagian Selatan dengan jumlah jemaat berikutnya bahwa pada tahun 1960, GKJ mengalami perkembangan cukup signifikan sehingga pada tahun tersebut jumlah gereja menjadi 104, jumlah klasis menjadi 11, dan jumlah jemaat berkembang menjadi ini, jumlah gereja yang ada dalam wilayah pelayanan GKJ adalah 331 gereja, 32 klasis, dengan jumlah jemaat mencapai orang. Dibandingkan data tahun 1939 persebaran GKJ yang awalnya di wilayah pesisir Selatan Jawa Tengah, sekarang telah tersebar di 6 provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Barat, Daerah Khusus Ibukota Jakarta, dan Banten. Persebaran tersebut tentunya berdampak terhadap perjumpaan gereja dengan budaya-budaya yang ada di sekitarnya. Dengan Denys Lombard, Nusa Jawa Silang Budaya Bagian I Batas-batas Pembaratan Jakarta Gramedia, 2008. Soekotjo, Sejarah Gereja-gereja Kristen Jawa Jilid 1 Yogyakarta Taman Pustaka Kristen, 2009. Sinode Secara etimologi berasal dari kata syn dan hodos yang artinya berjalan bersama. Secara umum sinode adalah perkumpulan gereja-gereja yang seasas atau sealiran. Secara khusus dalam perspektif GKJ sinode adalah bentuk persidangan yang lebih luas daripada persidangan gereja setempat maupun persidangan klasis. Klasis adalah perhimpunan gereja dalam jumlah tertentu dan dalam suatu wilayah tertentu himpunan dalam satu kota atau satu kabupaten. Soekotjo, Sejarah Gereja-gereja Kristen Jawa Jilid 2 Yogyakarta Taman Pustaka Kristen, 2010. Labeti Pandangan Gereja Kristen Jawa GKJ Terhadap Budaya Dalam Konteks Masyarakat Jawa Copyright© 2021; Jurnal Teologi Berita Hidup, ISSN 2654-5691 online, 2656-4904 print62 demikian, GKJ harus memiliki sikap yang bijaksana dalam mengemban misi surgawi yaitu damai sejahtera dalam kehidupan bersama di tengah pluralitas kultur gereja berada. Mengacu persebaran gereja tersebut, diskursus tentang Injil dan budaya lokal menjadi perhatian GKJ, sehingga terdapat kajian-kajian ilmiah terkait keberadaan gereja di tengah konteks masyarakat Jawa. Sastrokasmojo menyatakan bahwa sejak lahir dan tumbuhnya GKJ, hal Injil dan kebudayaan menjadi dialektika yang tidak pernah berhenti. Antara konsep ajaran gereja dengan praktik adat-istiadat orang-orang Jawa Kristen sering kali menjadi dua kutub yang paradoks. Küster juga menyatakan bahwa ketegangan antara Injil dan kebudayaan dapat menyebabkan pandangan gereja yang sangat eksklusif terhadap budaya sehingga tidak akan terjadi dialektika antara keduanya. Terdapat pandangan bahwa gereja adalah wilayah suci karena diterangi oleh Injil, di sisi lain kebudayaan yang bukan berdasar Injil adalah hasil olah karsa dan karya manusia sendiri yang tidak diterangi kebenaran Injil. Maka Küster menawarkan mediasi antara kedua hal tersebut dengan perangkat keilmuan yang tepat sehingga muncullah sikap gereja yang lebih terbuka terhadap dengan sikap kekristenan terhadap budaya, Niebuhr menyatakan bahwa kebudayaan adalah “lingkungan buatan” yang diciptakan manusia berdasarkan fenomena dan konteks yang dihadapi suatu komunitas, sehingga termanifestasikan di dalam bahasa, kebiasaan, ide, sistem kepercayaan, adat istiadat, tata organisasi sosial, proses teknis, dan juga nilai-nilai yang dihidupi oleh komunitas persidangan-persidangan gerejawi, pergumulan tentang pandangan gereja terhadap persoalan adat istiadat maupun budaya Jawa menjadi perhatian yang cukup serius. Hal tersebut menunjukkan bahwa GKJ berupaya untuk terus mendialogkan antara Injil dan budaya sehingga tidak terjadi ketegangan yang cukup tajam bahkan menghambat panggilan bergereja di tengah dunia yaitu mendatangkan damai sejahtera dalam kehidupan bersama. Dalam dokumen-dokumen persidangan sinode hal yang terkait gamelan, wayang, kendhurèn, khitan, dan praktik-praktik adat istiadat Jawa lainnya ditempatkan menjadi persoalan yang perlu didialogkan dengan arif; dalam arti tidak mengesampingkan inti Injil namun juga tidak mengurangi makna dari produk budaya maupun praktik adat istiadat dalam kehidupan orang-orang GKJ. Padmono Sastrokasmojo, Gendhing Gerejawi Perjumpaan Kekristenan dengan Agama Islam dan Budaya Jawa Yogyakarta Duta Wacana University Press, 2017. Volker Küster, The Many Faces of Jesus Christ London SCM Press, 1999. N. Richard Niebuhr, Kristus dan Kebudayaan Jakarta Yayasan Satya Karya, Jurnal Teologi Berita Hidup, Vol 4, No 1, September 2021 Copyright© 2021; Jurnal Teologi Berita Hidup, ISSN 2654-5691 online, 2656-4904 print63 Dalam menjalani tugas panggilannya di dunia, setiap gereja pasti menghadapi dinamika pelayanan, demikian juga dalam sejarah pelayanan GKJ. Sekalipun nama diri GKJ menggunakan kata Jawa, namun dalam praktiknya kejawaan tersebut masih perlu untuk diidentifikasi atau dideskripsikan dengan tepat, sehingga kata Jawa tersebut bukan hanya sekedar identitas yang tanpa makna. Oleh karena itu pertanyaan yang muncul akibat diskursus Injil dan budaya dalam perspektif GKJ adalah sebagai berikut. 1. Apakah dasar penolakan gereja Belanda terhadap budaya Jawa? 2. Bagaimanakah upaya GKJ dalam menjawab persoalan Injil dan kebudayaan? 3. Bagaimanakah praktik Injil dan budaya dalam perspektif GKJ pada masa kini? Pertanyaan-pertanyaan tersebut merupakan rangkaian sejarah pemikiran GKJ dalam menyikapi posisi gereja untuk menjawab pergumulan terkait dengan budaya. Jembatan antara Injil dan budaya adalah bangunan paradigma gereja terhadap budaya itu sendiri diterangi oleh Alkitab. Hanya dengan langkah upaya interpretasi ulang terhadap teks Alkitab, maka kajian atau pun konsep berpikir tentang budaya yang dimiliki gereja tentu akan menjadi pijakan sikap gereja terhadap budaya masyarakat. Demikian hal yang diusulkan Schreiter kepada gereja, agar gereja mau “mendengarkan” budaya; dalam arti gereja membuka diri untuk senantiasa mendialogkan Injil dan budaya sesuai dengan zamannya. Usulan Schreiter tersebut, dalam konteks sejarah GKJ mulai tahun 1931 memang masih sangat sulit untuk dilakukan GKJ. GKJ masih memegang warisan teologi Barat yang beranggapan bahwa kebudayaan Barat lebih tinggi kedudukannya daripada budaya Timur. Banawiratma menegaskan konsep pemikiran Barat yang superior tersebut dengan menggambarkan adanya dua kutub tradisi yang berseberangan yaitu tradisi besar great tradition dan tradisi kecil little tradition atau juga disebut dengan high culture dan low culture. Sikap membedakan budaya yang tinggi dan yang rendah tersebut merupakan internalisasi dari pengajaran yang diyakini, perbedaan kultur, dan pandangan dunia Barat terhadap orang-orang Timur. Itulah sebabnya antara Injil yang dibawa dari Belanda dengan budaya konteks masyarakat Timur perlu terus didialogkan. Di satu sisi GKJ adalah gereja yang ditanamkan plantatio ecclesia misionaris Belanda di tanah Jawa, di sisi lain orang-orang GKJ adalah orang-orang Jawa yang pada dasarnya tidak dapat dipisahkan dari budayanya sendiri. Robert J. Scheiter, Rancang Bangun Teologi Lokal Jakarta PT. BPK Gunung Mulia, 1993. J. B. Banawiratma, Yesus Sang Guru Pertemuan Kejawen dengan Injil Yogyakarta Yayasan Kanisius, 1977. Labeti Pandangan Gereja Kristen Jawa GKJ Terhadap Budaya Dalam Konteks Masyarakat Jawa Copyright© 2021; Jurnal Teologi Berita Hidup, ISSN 2654-5691 online, 2656-4904 print64 METODE Pendekatan fenomenologi adalah salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk mendeskripsikan sikap GKJ terhadap seni, budaya, maupun adat istiadat dalam praktik bergereja GKJ. Dahlstorm berpendapat bahwa fenomenologi merupakan studi tentang kesadaran atau berbagai macam pengalaman kesadaran yang berdasar sudut pandang sumber primer. Lebih lanjut Dahlstorm mengatakan bahwa fenomenologi merupakan kesadaran mental atau suatu tindakan yang dapat dilihat berdasarkan pengalaman dari pelaku tindakan tersebut. Demikian pula yang dikatakan Kronegger, bahwa fenomenologi merupakan cara atau gaya berpikir; sehingga berpikir dengan pendekatan fenomenologi adalah suatu godaan dari pengalaman diri sendiri yang terkait dengan dunia yang lebih luas. Dengan menggunakan pendekatan fenomenologi akan dipaparkan dasar penolakan gereja Belanda terhadap budaya sampai dengan perkembangan paradigma GKJ yang menerima budaya sebagai bagian integral dalam pelayanan gereja, sehingga akan tampak jelas peran Injil yang melandasi usaha GKJ berdialog dengan budaya. HASIL DAN PEMBAHASAN Ditinjau dari perspektif sejarah, GKJ mengalami pasang surut wacana dalam menjawab kejawaan yang menjadi identitas GKJ. Dapat digambarkan bahwa pada awalnya GKJ dipengaruhi pengajaran-pengajaran dari Belanda yang memisahkan Injil dan budaya. Namun, kesadaran untuk memosisikan diri menjadi gereja Kristen yang berbasis budaya Jawa menyebabkan konsep bergereja GKJ mengalami transformasi paradigma. Gereja Barat Lebih Mulia daripada Jawa Hermeneutika Alkitab Gereja Belanda pada Abad XVIII Misi kedatangan misionaris Belanda ke tanah Jawa memang bertujuan memperkenalkan orang-orang Jawa terhadap Injil. Dorongan untuk melakukan misi tersebut berdasar sabda Yesus sendiri yang tercatat dalam Injil Matius 2819, “Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus.” Sabda tersebut dimaknai sebagai mandat untuk menjadikan bangsa-bangsa di luar Belanda sebagai bangsa yang percaya kepada Yesus Kristus melalui agama Kristen. Berdasarkan ayat tersebut, misionaris Belanda menggunakan terminologi “memenangkan O Dahlstrom, Daniel, Philosophy of Mind and Phenomenology Conceptual and Empirical Approach New York Routledge, 2016. Marlies Kronegger, Phenomenology and Aesthetics Dordrecht The Netherlands Kluwer Academic Publisher, 1991. Jurnal Teologi Berita Hidup, Vol 4, No 1, September 2021 Copyright© 2021; Jurnal Teologi Berita Hidup, ISSN 2654-5691 online, 2656-4904 print65 jiwa-jiwa bagi Yesus.” Terminologi tersebut digunakan para misionaris untuk menekankan bahwa kedudukan Injil tidak dapat disejajarkan dengan kebudayaan bahkan agama lain. Injil tidak boleh dicampuradukkan dengan hal yang lain sehingga tidak akan terjadi sinkretisme. Injil adalah wilayah suci yang berasal dari Surga baik itu melalui pewahyuan secara tidak langsung karena adanya internalisasi iman para nabi serta tokoh Alkitab pengilhaman organik. Injil yang suci juga berasal dari pewahyuan secara langsung pengilhaman mekanik melalui para nabi maupun tokoh Alkitab yang menerima secara langsung wahyu tersebut dari Tuhan. Dasar penafsiran Alkitab yang demikian menumbuhkan sikap beragama yang eksklusif, sehingga bukan hanya pandangan gereja terhadap agama lain yang merupakan the others dari gereja; tetapi juga berdampak pandangan gereja terhadap budaya. Dalam buku Katekismus Heidelberg dokumen tentang ajaran Agama Kristen produk bapa gereja abad XV pada pertanyaan minggu 11 dinyatakan Anak Allah yang disebut Yesus Kristus sebagai Juru Selamat merupakan satu-satunya jalan keselamatan bagi manusia, sehingga tidak ada jalan keselamatan lain yang dapat membawa manusia kepada keselamatan sempurna baik itu itu kepercayaan, agama lain, maupun kebudayaan manusia. Agama Kristen lebih tinggi kedudukannya daripada agama lain, sehingga iman Kristen adalah iman yang paling benar di antara berbagai kepercayaan atau agama yang ada di dunia. Implikasi dari proses tafsir yang demikian menyebabkan gereja berpandangan bahwa agama lain termasuk kebudayaan manusia berada dalam wilayah profan. Demikian pula kebudayaan Jawa yang tidak bersumber dari Alkitab, sehingga gereja menganggap bahwa tatkala umat bersentuhan dengan budayanya sendiri maka mereka berada dalam wilayah tidak suci bahkan diberi stigma golongan yang berdosa serta pantas mendapatkan sanksi dalam hal ini hukuman secara kelembagaan gereja. Hermeneutika gereja Belanda yang demikian berdampak terhadap pandangan para misionarisnya bahwa kebudayaan mereka yang diterangi oleh Injil tergolong kebudayaan tinggi high culture karena praktik-praktik kebudayaan mereka tidak bertentangan dengan Injil. Kemuliaan dalam perspektif iman gereja Belanda dilandasi oleh adanya superioritas iman karena kepercayaan mereka bersumber pada kebenaran sejati dan satu-satunya, berbeda dengan kebenaran yang diakui serta dipercaya oleh orang-orang Jawa konsep Pradjarta Dirjosanjoto, Sumber-sumber tentang Sejarah Gereja Kristen Jawa 1896-1980 Salatiga Sinode GKJ, 2008. Tim, Pengajaran Agama Kristen Katekismus Heidelberg Salatiga Sinode GKJ, 1983. Dirjosanjoto, Sumber-sumber tentang Sejarah Gereja Kristen Jawa 1896-1980. Labeti Pandangan Gereja Kristen Jawa GKJ Terhadap Budaya Dalam Konteks Masyarakat Jawa Copyright© 2021; Jurnal Teologi Berita Hidup, ISSN 2654-5691 online, 2656-4904 print66 Sangkan Paraning Dumadi atau asal mula segala sesuatu atau dalam bahasa teknis agama disebut dengan Tuhan. “Budaya Tinggi” versus “Budaya Rendah” Sikap gereja yang eksklusif berdasar penafsiran Alkitab berdampak secara langsung terhadap pandangannya terhadap budaya Jawa. Para misionaris Belanda dengan tegas menandaskan bahwa segala bentuk budaya yang tidak berasal dan tidak diterangi Injil adalah budaya kafir. Pandangan tentang budaya Jawa adalah kafir karena para praktiknya budaya Jawa masih erat terkait dengan ritual-ritual yang bertentangan dengan pengajaran Injil. Sutrisno mengatakan bahwa pandangan budaya dalam suatu komunitas akan berdampak terhadap dua pandangan yaitu yang sacred dan yang profan. Oleh karena itu yang profan mau tidak mau harus tunduk kepada yang sacred sehingga eksistensi kebenaran menjadi tampak. Gereja menempatkan diri sebagai pihak yang berbudaya, sementara orang-orang Jawa yang mempraktikkan budaya nenek moyang mereka adalah golongan orang yang tidak berbudaya. Dua kutub yang paradoks tersebut menjadi realitas dalam sejarah gereja. Budaya Jawa adalah Budaya Okultisme Niebuhr menyitir pendapat Tolstoi bahwa bagaimana pun juga kebudayaan selalu bersifat kafir dan jahat, karena kebenaran dan kesempurnaan absolut hanyalah Yesus Tolstoi tersebut sejalan dengan pandangan gereja Belanda pada abad XVIII sehingga mereka memandang bagaimana pun juga eksistensi budaya Jawa adalah budaya yang kafir dan jahat. Dalam dokumen misionaris tahun 1896 dinyatakan bahwa orang-orang Jawa harus diselamatkan dari kepalsuan iman; mereka adalah orang-orang yang sudah dirasuki takhayul dan juga melakukan praktik penyembahan terhadap orang Jawa terhadap manifestasi budayanya tentu disebabkan karena orang-orang Belanda tidak dapat memahami dunia pemikiran Timur yang bersumber pada komunikasi antara makro kosmos jagat raya yang diinternalisasikan dalam mikro kosmos diri manusia sendiri. Demikian pula pandangan misionaris Belanda tentang adanya praktik penyembahan berhala, tentu didasari oleh alam pikir Barat yang lebih maju mensistematisasikan imannya dalam bahasa-bahasa teknis agama yang lebih akademis ketimbang orang-orang Jawa. Mudji Sutrisno, Teori-teori Kebudayaan Yogyakarta PT. Kanisius, 2005. Niebuhr, Kristus dan Kebudayaan. Dirjosanjoto, Sumber-sumber tentang Sejarah Gereja Kristen Jawa 1896-1980. Jurnal Teologi Berita Hidup, Vol 4, No 1, September 2021 Copyright© 2021; Jurnal Teologi Berita Hidup, ISSN 2654-5691 online, 2656-4904 print67 Budaya Jawa adalah Budaya yang Menghambat Pertumbuhan Iman Umat Tuhan Hal paradoks antara yang gereja yang suci dan budaya yang profan tidak pernah mengalami titik temu untuk mencari jembatan yang bijak atas kedua kutub tersebut. Orang-orang Jawa Kristen yang telah berhasil melepaskan budaya Jawa dalam kehidupan kekristenan dinilai sebagai orang-orang berhasil dalam iman ketika dikomparasikan dengan sesamanya orang Jawa yang belum menjadi Kristen. Perilaku orang Kristen yang lepas dari budaya Jawa diterjemahkan sebagai sebuah devosi terhadap kekristenan yang diperkenalkan oleh misionaris Belanda. Dalam dokumen persidangan sinode tahun 1929, terdapat laporan yang menyatakan bahwa orang-orang Jawa Kristen sangat tunduk terhadap Alkitab sehingga mereka tidak pernah lagi melakukan praktik-praktik budaya nenek moyang demikian dapat dikatakan bahwa menurut pandangan gereja Belanda praktik hidup orang Jawa Kristen yang telah melepaskan budaya nenek moyang mereka merupakan titik pijak kemajuan iman yang berlandaskan kebenaran absolut yaitu Yesus dan Alkitab. Masa GKJ Tercerabut dari Akar Budaya Sejak tahun 1931 sampai sekitar tahun 1950, segala bentuk praktik budaya Jawa tidak diperkenankan dilakukan oleh orang-orang Jawa Kristen; demikian pula budaya tidak diperkenankan masuk dalam wilayah ibadah gereja. Bentuk-bentuk kebudayaan yang dijauhkan misionaris dari praktik kehidupan orang-orang GKJ di antaranya sebagai berikut. Sunat Sunat atau khitan dapat ditemukan dasarnya di Alkitab khususnya dalam tradisi Perjanjian Lama zaman sebelum Yesus datang ke dunia khitan merupakan inisiasi seseorang masuk agama Yahudi. Menyitir pendapat Sastrokasmojo, dalam tradisi Islam khitan juga digunakan sebagai tanda seorang anak menjadi Islam, maka dalam undangan khitanan dituliskan “akan mengislamkan anak saya.” Setidaknya tradisi sunat atau khitan jika dirunut dari sisi sejarah terdapat juga di dalam kesaksian Kitab Suci. Dalam pandangan Kristen seperti yang diyakini oleh misionaris Belanda, orang Kristen tidak perlu disunat atau dikhitan lagi karena segala dosa maupun kesalahan manusia sudah ditanggung Yesus Kristus dalam peristiwa penyaliban-Nya. Ayat Alkitab seperti yang tertulis dalam kitab Kolose 211 menegaskan bahwa orang Kristen telah disunatkan dalam arti telah disucikan hidupnya dari dosa melalui peristiwa kesengsaraan, kematian, dan Sastrokasmojo, Gendhing Gerejawi Perjumpaan Kekristenan dengan Agama Islam dan Budaya Jawa. Labeti Pandangan Gereja Kristen Jawa GKJ Terhadap Budaya Dalam Konteks Masyarakat Jawa Copyright© 2021; Jurnal Teologi Berita Hidup, ISSN 2654-5691 online, 2656-4904 print68 kebangkitan Yesus Kristus. Itulah sebabnya gereja Belanda anti terhadap budaya sunat atau khitan karena orang Kristen telah ditanggung “sunat”nya melalui peristiwa sejarah Yesus Kristus, sehingga dengan pandangan teologi yang demikian berdampak orang-orang GKJ dilarang mengkhitankan anaknya. Menonton atau Menanggap Wayang Wayang merupakan seni tradisi warisan leluhur yang menggambarkan kehidupan manusia. Petuah atau nilai-nilai kehidupan ditampakkan dalam adegan-adegan yang dimainkan oleh seorang dalang. Menyitir pendapat Arnold Hauser, Suparno mengatakan bahwa wayang juga digunakan sebagai media dakwah sehingga Islam tersebar luas di tanah Jawa. Rombongan wayang kulit tersebar di wilayah Utara pesisir Jawa yang sebagian besar masyarakatnya beragama pandangan misionaris Belanda, wayang berkaitan dengan dunia roh nenek moyang. Wayang juga digunakan sebagai media untuk meruwat atau membersihkan energi-energi negatif yang dapat mengganggu kehidupan manusia wayang untuk ruwatan. Sastrokasmojo menyatakan juga bahwa wayang terkait dengan keagamaan orang Jawa sehingga pagelaran wayang dipandang sebagai media perjumpaan antara orang yang masih hidup dengan arwah dasar pemahaman yang demikian, misionaris Belanda dengan tegas menyatakan bahwa menonton bahkan menanggap wayang merupakan bentuk kekafiran. Dalam pandangan mereka, dunia roh sudah dikalahkan oleh kuasa Yesus Kristus sehingga manusia yang masih hidup tidak perlu bersinggungan dengan dunia roh. Apapun juga alasan bagi orang-orang GKJ untuk menonton, menanggap, bahkan memainkan wayang maka mereka sudah membawa diri pada kondisi tidak selamat berdosa. Menabuh Gamelan Gamelan merupakan alat musik tradisional Jawa dengan laras sléndro dan pélog. Gamelan digunakan masyarakat Jawa dalam perhelatan tertentu misalnya seseorang yang punya hajat resepsi pernikahan, upacara tertentu misalnya Sekaten, pementasan wayang, dan sebagainya. Jika ditinjau dari perspektif sejarah, Supanggah mengatakan bahwa gamelan merupakan proyeksi dari tradisi zaman pra Hindu yang tampak melalui tradisi nenek moyang orang Jawa yaitu dengan mengadakan ritual di gua-gua oleh syaman yang kemudian T. Slamet Suparno, Pakeliran Wayang Purwa Dari Ritus sampai Pasar Surakarta ISI Press Solo, 2011. Sastrokasmojo, Gendhing Gerejawi Perjumpaan Kekristenan dengan Agama Islam dan Budaya Jawa. Jurnal Teologi Berita Hidup, Vol 4, No 1, September 2021 Copyright© 2021; Jurnal Teologi Berita Hidup, ISSN 2654-5691 online, 2656-4904 print69 menjadi dalang, boneka dari daun atau rumput yang kemudian menjadi wayang, menggunakan dinding gua yang kemudian menjadi kelir, dan bunyi-bunyian atau nyanyian atau matram yang kemudian menjadi gamelan. Semua unsur tersebut pada akhirnya menjadi pagelaran wayang kulit purwa. Dari pandangan Supanggah tersebut, jelas bahwa gamelan merupakan bagian dari ritual pemujaan kepada roh nenek moyang yang telah ada sejak zaman pra Hindu. Dari perspektif Kristen, Sastrokasmojo mengatakan bahwa menurut orang Eropa mendengarkan gamelan Jawa sama dengan memberi diri untuk dibius oleh “suara setan.”Pendapat Sastrokasmojo tersebut senada dengan pernyataan Supanggah bahwa dalam tradisi Jawa gong biasanya diberi nama khusus dengan sebutan kyai atau nyai, panji gamelan harus menyediakan sesaji, ritual selamatan, dan berpuasa sebelum membuat gong telah selesai dan akan digunakan, maka akan ditempat di gantungan kayu yang di atasnya diberi simbol naga. Ritual maupun simbol yang terdapat dalam gamelan seperti itu dianggap sebagai bentuk penyembahan kepada berhala. Jadi, dari pemahaman tersebut praktiknya orang-orang GKJ dilarang untuk menabuh, mendengarkan, bahkan memiliki gamelan karena tindakan yang demikian sama dengan menyekutukan Tuhan yang diimani dengan dunia roh yang dipenuhi kuasa kegelapan kuasa jahat. Slametan bagi yang sudah Meninggal Dunia Slametan khususnya bagi yang sudah meninggal dunia merupakan tradisi Jawa terkait dengan pemahaman bahwa yang sudah meninggal dunia agar senantiasa mendapatkan keselamatan di akhirat. Widiasih mengatakan bahwa sesaji yang diberikan pada saat ritual slametan adalah bentuk pengharapan atau doa dari keluarga yang telah ditinggal meninggal dunia agar roh yang meninggal akan tenang dan dalam keadaan baik di alam baka tanpa ada gangguan sedikit pun serta senantiasa dalam lindungan roh yang menyatakan bahwa kenduri ritual di dalamnya berisi slametan adalah media bagi orang-orang Jawa dalam menjaga keselarasan jagad gedhé termasuk dunia roh nenek moyang dengan jagad cilik termasuk dunia batin orang Jawa. Dengan demikian ritual Rahayu Supanggah, Bothèkan Karawitan I Jakarta Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, 2002. Sastrokasmojo, Gendhing Gerejawi Perjumpaan Kekristenan dengan Agama Islam dan Budaya Jawa. Supanggah, Bothèkan Karawitan I. Ester Pudjo Widiasih, “The Ritualization of Remembering the Dead among The Christian Javanese A Study Of Liturgical Contextualization In A Reformed Church In Indonesia” Drew University Madison New Jersey Amerika, 2012. Labeti Pandangan Gereja Kristen Jawa GKJ Terhadap Budaya Dalam Konteks Masyarakat Jawa Copyright© 2021; Jurnal Teologi Berita Hidup, ISSN 2654-5691 online, 2656-4904 print70 slametan merupakan bentuk penghormatan orang Jawa kepada leluhur yang telah tiada sehingga terjadi keseimbangan alam nyata dengan alam slametan khususnya terkait meninggalnya seseorang biasanya dilakukan dengan berdasar hitungan tertentu juga berdasar hitungan hari baik. Widyatmanta mengatakan bahwa slametan dalam tradisi Jawa dilaksanakan setidaknya tujuh kali, yaitu surtanah menggusur tanah, tujuh hari, empat puluh hari, seratus hari, pendhak pisan setahun, pendhak pindho dua tahun, dan seribu hari. Masing-masing ritual slametan tersebut disiapkan sesaji tertentu menurut kemampuan yang punya pelaksanaan slametan yang terkait dengan dunia roh tersebut menurut gereja Belanda merupakan bentuk penyekutuan iman kepada Tuhan dengan kepercayaan kepada roh leluhur. Dengan kata lain tindakan tersebut merupakan bentuk kekafiran yang harus dijauhkan dari kehidupan kekristenan yang suci. Menurut iman gereja Belanda bahwa dunia nyata tidak dapat berkomunikasi dengan dunia kekal. Seseorang yang telah meninggal dunia, nyawa atau rohnya ada dalam kuasa Yesus Kristus sehingga dengan cara apa pun yang dilakukan manusia tidak akan dapat mengubah eksistensi arwah atau roh yang telah tiada tersebut. Bahkan dengan dasar bahwa kebangkitan Yesus dari kematian merupakan bukti bahwa dunia roh yang jahat dan gelap telah dikalahkan-Nya. Iman Kristen adalah beriman terhadap kehidupan kekal yang dijamin keadaannya dalam naungan kasih Tuhan. Dengan demikian, gereja Belanda menjauhkan budaya slametan dari kehidupan orang-orang GKJ agar iman mereka tidak disinkretisasi dengan adat istiadat yang terkait dunia roh nenek moyang. Merawat Kubur dan Menghias Kubur Orang yang Sudah Meninggal Menghormati seseorang atau leluhur yang sudah meninggal dunia merupakan bagian dari alam kebatinan orang Jawa. Agar terjadi keseimbangan antara jagad gedhé dan jagad cilik, maka menghormati seseorang yang sudah meninggal menjadi bagian penting adat istiadat masyarakat Jawa. Sastrokasmojo mencatat ritual yang dilakukan orang Jawa terkait dengan kuburan seseorang, yaitu Nyandhi atau memasang nisan sebagai penanda identitas, nyekar atau tabur bunga di atas kubur sebagai tanda ikatan batin dengan yang sudah meninggal, nyadran atau upacara membersihkan kubur leluhur yang dilakukan pada bulan Ruwah menjelang puasa, dan ngirim luhur atau mengirimkan doa agar yang meninggal Sastrokasmojo, Gendhing Gerejawi Perjumpaan Kekristenan dengan Agama Islam dan Budaya Jawa. Siman Widyatmanta, Sikap Gereja terhadap Budaya dan Adat-Istiadat Yogyakarta Badan Musyawarah Gereja-gereja Jawa, 2007. Jurnal Teologi Berita Hidup, Vol 4, No 1, September 2021 Copyright© 2021; Jurnal Teologi Berita Hidup, ISSN 2654-5691 online, 2656-4904 print71 dunia diampuni dosanya oleh Sang tersebut tampaknya perpaduan dari budaya asli Jawa dengan tradisi Islam yang kemudian membudaya di kalangan orang Jawa. Ritual-ritual terkait dengan kubur leluhur tersebut menurut misionaris Belanda sangat bertentangan dengan ajaran Alkitab. Dalam perspektif Kristen, seseorang yang sudah mati tidak dapat berkomunikasi melalui media apa pun karena alamnya sudah berbeda. Berikutnya bahwa seseorang yang sudah meninggal dan mengakui Yesus Kristus sebagai Tuhan, maka ada jaminan atas kehidupan di jagad orang mati sehingga keluarga yang ditinggalkan tidak perlu mengirim doa bagi keselamatan yang sudah meninggal karena yang sudah meninggal pasti selamat oleh karena kasih karunia Yesus Kristus. Demikian juga ritual tabur bunga di atas pusara adalah tindakan memuja roh nenek moyang dengan memberi sesaji atau makanan kepada mereka; padahal mereka yang sudah meninggal tidak dapat melakukan apa pun termasuk makan secara fisik. Dengan dasar tersebut, maka orang-orang GKJ tidak diperkenankan untuk melakukan ritual-ritual terkait kubur. Lima contoh tradisi atau ritual orang Jawa yang dilarang dilakukan oleh orang-orang GKJ tersebut menunjukkan sikap gereja Belanda terhadap budaya Jawa. Adat istiadat Jawa merupakan manifestasi budaya yang didasari oleh okultisme terhadap roh nenek moyang, penyembahan berhala, animisme, dan tidak dapat dijelaskan secara logis. Itulah sebabnya GKJ pada awal lahirnya pada abad XVIII tercerabut dari akar budaya Jawa, sehingga menjadi imitasi gereja Belanda yang ada di tanah Jawa. Pelanggaran terhadap larangan bersinggungan dengan budaya Jawa akan mendatangkan “hukuman” secara kelembagaan sehingga orang-orang tersebut tidak diperkenankan mengikuti ritual Perjamuan Kudus, dapat dicabut hak serta kewajibannya sebagai anggota gereja, bahkan dapat diekskomunikasi atau dikucilkan dari gereja. Perubahan Paradigma GKJ terhadap Budaya Jawa Buah penginjilan misionaris Belanda di tanah Jawa menghasilkan gereja yang seperti asalnya, baik dalam hal pengajaran, paradigma bergereja, maupun praktik kehidupan gereja di tengah masyarakat. Keberadaan GKJ sejak tahun 1931 berada dalam bayang-bayang Sastrokasmojo, Gendhing Gerejawi Perjumpaan Kekristenan dengan Agama Islam dan Budaya Jawa. Perjamuan Kudus adalah ritual yang diadakan oleh gereja secara rutin pada waktu tertentu. Ritual tersebut untuk mengenang peristiwa perjamuan terakhir the last supper pada malam sebelum Yesus Kristus disalibkan. Ritual tersebut bertujuan mendidik anggota gereja untuk mengenang peristiwa dan mengajak jemaat untuk menghargai pengurbanan Yesus Kristus sehingga berdampak terhadap perilaku kehidupan yang dilandasi kebenaran. Labeti Pandangan Gereja Kristen Jawa GKJ Terhadap Budaya Dalam Konteks Masyarakat Jawa Copyright© 2021; Jurnal Teologi Berita Hidup, ISSN 2654-5691 online, 2656-4904 print72 gereja Belanda berdampak tercerabutnya budaya Jawa dari kehidupan sehari-hari orang Jawa; demikian pula berdampak terhadap sistem bergereja GKJ yang tidak pernah mengakomodasi budaya Jawa dalam praktik bergereja. Diskursus tentang Injil dan kebudayaan muncul dalam persidangan-persidangan klasis maupun sinode. Hal ini menunjukkan bahwa lambat laun GKJ menyadari identitas dirinya sebagai gereja yang berbasis budaya Jawa, bukan gereja Kristen yang ditanamkan begitu saja oleh gereja Belanda di tanah Jawa. Itu berarti bahwa GKJ mulai menyadari bahwa kebudayaan perlu disikapi dengan bijaksana sehingga kebudayaan Jawa tidak terpisah jauh dari praktik kehidupan bergereja; karena bagaimana pun juga orang-orang GKJ tidak dapat dipisahkan dari budaya peninggalan nenek moyang. Di sisi lain, orang-orang GKJ seringkali melakukan praktik budaya Jawa dengan sembunyi-sembunyi. Kesadaran menjawab budaya diterangi kekristenan dalam sejarah GKJ tampak sebagai berikut. Titik Pijak Keterbukaan GKJ terhadap Budaya Diskursus Injil dan budaya yang tidak terjawab baik melalui persidangan gereja setempat sampai dengan tingkat klasis, akhirnya dijadikan materi pembicaraan di tingkat sinode. Soekotjo menyampaikan bahwa pada Sidang Sinode GKJ kedua tahun 1932, materi yang dijadikan bahan persidangan di antaranya menyangkut tentang sunat dan wayang. Soekotjo juga menyampaikan bahwa pada Sidang Sinode kelima tahun 1936, persoalan baru muncul terkait dengan penggunaan gamelan dalam ibadah terkait sunat, wayang, dan gamelan tersebut tidak terselesaikan dengan baik, gereja pada saat itu masih bersikukuh bahwa praktik kebudayaan dalam kehidupan bergereja atau orang-orang GKJ tidak diperkenankan karena akan merusak ranah kesucian kekristenan. Dirjosanjoto mencatat laporan Nathanael Daldjoeni sebagai anggota Komisi Studi Kemasyarakatan GKJ bahwa pada tahun 1966 komisi tersebut memberikan laporan kepada Sinode GKJ terkait dengan tugas yang telah dilakukan. Komisi tersebut memberikan saran kepada Sinode di antaranya agar Sinode melakukan peninjauan ulang pandangan GKJ terhadap budaya, mempelajari upacara-upacara adat yang bersinggungan dengan kehidupan gereja, menelaah kembali adatrecht atau peraturan tentang adat. Dalam praktik kehidupan, kenyataannya orang-orang GKJ mencampurkan secara tidak langsung antara tata cara Kristen dan budaya Jawa. Di sisi lain ada bentuk baru tata cara Kristen menghilangkan unsur-unsur Jawa. Namun demikian, dalam tradisi Jawa tertentu yang masih tampak kuat Soekotjo, Sejarah Gereja-gereja Kristen Jawa Jilid 1. Dirjosanjoto, Sumber-sumber tentang Sejarah Gereja Kristen Jawa 1896-1980. Jurnal Teologi Berita Hidup, Vol 4, No 1, September 2021 Copyright© 2021; Jurnal Teologi Berita Hidup, ISSN 2654-5691 online, 2656-4904 print73 unsur magisnya contohnya ritual di kubur leluhur, maka gereja dengan tegas menolak unsur-unsur tersebut. Tetapi jika dalam praktiknya ritual atau upacara Jawa yang hanya sebagai lambang contohnya kembar mayang dapat digunakan dalam praktik kehidupan gereja. Melalui laporan komisi tersebut, GKJ diharapkan mampu membuang makna dalam ritual-ritual Jawa dan memberikan makna baru diterangi Injil. Keterbukaan wacana GKJ terhadap budaya tampak pada tahun 1967 melalui persidangan Sinode GKJ ke sepuluh. Wacana tentang Injil dan kebudayaan yang menjadi pembicaraan pada Sidang Sinode sebelumnya dirangkum dan diikat menjadi sebuah keputusan sehingga pada tahun 1967 GKJ membentuk Dinas Komunikasi Massa atau disebut juga Komisi Komunikasi Massa KOKOMAS. Soekotjo memaparkan keberhasilan KOKOMAS dalam menjembatani Injil dan kebudayaan sehingga pada masa tersebut KOKOMAS berhasil membuahkan produk-produk kesenian yang signifikan terhadap perkembangan kesenian di gereja-gereja setempat. Soekotjo menyebutkan bahwa produk KOKOMAS di antaranya adalah sendratrari “Sepuluh Dara” dan “Natal” dengan nuansa Jawa, mengolah “Jaran Kepang” walaupun masih terkendala dengan unsur magis dalam pementasannya, memproduksi tulisan-tulisan drama seperti “Panggilan di Balik Tirai Mari” dan “Beksa Anggawa Pralaya”, mengadakan festival drama KOKOMAS, upgrading dalang-dalang Kristen, munculnya tembang Kristen Langen Sekar Pamuji dengan tokoh Sudarsono Wignyosaputro, dan produk seni lainnya. KOKOMAS tersebut menjadi puncak dialog Injil dan kebudayaan sehingga melalui kerja KOKOMAS menjadi tangan panjang GKJ dalam menjembatani kedua hal yang pada kurun waktu sebelumnya menjadi persoalan yang paradoks. Dokumen-dokumen tersebut membuktikan upaya GKJ untuk menegaskan bahwa orang-orang Jawa tidak dapat dipisahkan dari kebudayaannya. Setidaknya dokumen tersebut menjadi titik pijak GKJ dalam membangun wacana yang akomodatif terhadap budaya Jawa dengan memberikan makna baru secara kristiani. Dengan demikian praktik budaya baru tersebut tidak akan bertentangan dengan Injil dan orang-orang GKJ dapat terus menghidupi budaya warisan nenek moyang. Pembaruan Ajaran Gereja GKJ yang lahir tahun 1931, menjalani kehidupan bergereja dengan mengadopsi segala sesuatu dari gereja Belanda. Pakaian beribadah yaitu orang-orang GKJ harus menggunakan celana, rok, sepatu fantovel, dasi, dan lainnya; bukan surjan, blangkon, Soekotjo, Sejarah Gereja-gereja Kristen Jawa Jilid 2. Labeti Pandangan Gereja Kristen Jawa GKJ Terhadap Budaya Dalam Konteks Masyarakat Jawa Copyright© 2021; Jurnal Teologi Berita Hidup, ISSN 2654-5691 online, 2656-4904 print74 nyamping, dan selop. Iringan ibadah menggunakan organ, bukan gamelan. Bangunan gereja mengacu pada arsitektur Barat, bukan arsitektur Jawa. Bahkan dalam ajaran gereja pun, GKJ tetap mewarisi ajaran gereja Belanda. Padahal dalam pengajaran gereja Belanda tersebut terdapat akidah-akidah terkait dengan sikap gereja terhadap agama lain termasuk golongan Katolik, tentang konsep keselamatan melalui Yesus Kristus yang hanya satu-satunya jalan manusia menjadi selamat dan tidak ada yang lain, demikian pula hal-hal tentang praktik kehidupan di dunia yang tidak pernah disistematisasikan dalam praksis yang nyata. Kesadaran identitas dan konteks GKJ di tengah masyarakat Jawa bukan hanya tampak dari wacana-wacana dialog Injil dan budaya yang akhirnya menghasilkan keputusan-keputusan Sidang Sinode yang strategis dan memunculkan ruang bagi masuk serta berkembangnya budaya Jawa dalam praktik kehidupan bergereja; namun tentang ajaran warisan gereja Belanda pun tidak luput dari pergumulan untuk dikontekstualisasikan dengan zamannya. Maka pada tahun 1996, dalam persidangan Sinode terbatas yaitu sidang yang membahas hal tertentu, GKJ memasuki babak baru dalam hal pengajaran. Pada persidangan tersebut diputuskan penggunaan Pokok-pokok Ajaran Gereja GKJ PPA GKJ menggantikan buku Piwulang Agami Kristen Pengajaran Agama Kristen yang digunakan sebagai buku pengajaran katekisasi sejak tahun 1931. Digunakannya PPA GKJ tahun 1996 di lingkungan GKJ sebagai buku pedoman pengajaran gereja, dampaknya ada keterkejutan terkait dengan iman atau kepercayaan yang telah diwarisi dari Gereja Belanda sejak tahun 1931. Dalam PPA GKJ tersebut tampak pembaruan paradigma GKJ dalam hal sikap terhadap agama lain bahwa GKJ terbuka mengakui adanya kebenaran yang diimani oleh agama lain sikap inklusif dan secara khusus juga dibahas sikap GKJ terhadap budaya. GKJ mengakui bahwa kebudayaan merupakan segala sesuatu yang dihasilkan manusia baik dari tingkat yang paling sederhana sampai dengan tingkat paling modern. Kebudayaan terkait dengan pembuatan perkakas serta cara menggunakannya, bahasa serta adat istiadat, agama serta kepercayaan, nilai-nilai serta pengubahannya, ilmu pengetahuan serta filsafat, dan beraneka ragam kesenian. Namun demikian GKJ juga menyadari bahwa kebudayaan sebagai hasil cipta dan karya manusia dalam melaksanakan tugas kebudayaan yang diberikan Allah sejak zaman penciptaan, maka kebudayaan tidak dapat lepas dari cidera manusiawi kelemahan manusia atau dapat dikatakan dalam kebudayaan pun terkandung kelemahan. Oleh karena itu GKJ mengajarkan bahwa dalam menyikapi kenyataan kebudayaan yang demikian maka 1. Kebudayaan harus dihargai. 2. Bersikap kritis terhadap kebudayaan. 3. Memperbaiki kesalahan dalam kebudayaan sehingga praktik kebudayaan di Jurnal Teologi Berita Hidup, Vol 4, No 1, September 2021 Copyright© 2021; Jurnal Teologi Berita Hidup, ISSN 2654-5691 online, 2656-4904 print75 kalangan GKJ tidak menyimpang dari pengajaran Kristen. PPA GKJ tersebut dapat dikatakan sebagai puncak dialog antara Injil, budaya, dan konteks zaman sehingga terdapat kebaruan-kebaruan pengajaran GKJ termasuk sikap GKJ terhadap budaya. Praktik Kebaruan Paradigma GKJ tentang Budaya Sejak 1931 sampai dengan 1996, GKJ masih dalam bayang-bayang pengajaran gereja Belanda, sehingga orang-orang GKJ masih belum berani terang-terangan mengakomodasi budaya sebagai bagian dari kehidupan bergereja. Pada kenyataannya, sejak lahirnya GKJ tersebut praktik-praktik budaya Jawa dengan “baju baru” dilakukan oleh orang-orang GKJ untuk mengelabui gereja supaya tindakan mereka tidak dicap sebagai tindakan berdosa. Meskipun GKJ telah memiliki KOKOMAS pada tahun 1967 dengan tujuan untuk mengembangkan kebudayaan yang diterangi Injil Yesus Kristus, praktik kebudayaan Jawa masih berada di bawah bayang-bayang pengajaran gereja Belanda. Puncak keterbukaan GKJ dalam berbagai perspektif yaitu dengan munculnya PPA GKJ tahun 1996. Dalam kurun waktu 1931 sampai dengan 1996, GKJ melakukan eksperimen-eksperimen dialog Injil dan budaya, sehingga pada kurun waktu tersebut tampak beberapa budaya Jawa yang masuk lingkungan gereja, di antaranya Bidstond Mèngeti ingkang Sampun Séda Bidstond persekutuan doa mèngeti ingkang sampun séda memperingati yang sudah meninggal sebenarnya berasal dari budaya slametan yang dipraktikkan dalam masyarakat Jawa. Bidstond tersebut dibungkus dengan kebaruan sehingga makna asli dari slametan disesuaikan dengan ajaran Kristen. Bidstond keluarga Kristen bukan untuk mendoakan yang sudah meninggal agar selamat, tetapi tujuan melakukan bidstond ala GKJ terkait dua unsur yaitu 1. Unsur spiritual Bidstond ala GKJ untuk mendoakan keluarga yang ditinggalkan sehingga semakin dikuatkan dalam melanjutkan hidup. 2. Unsur sosial Keluarga yang ditinggalkan mengucap syukur atas anugerah penghiburan dan kekuatan dari Tuhan sehingga membagikan berkat kepada sesama manusia tetangga, jemaat gereja, mitra, dan siapa pun yang diundang dalam acara tersebut. Pelaksanaan bidstond ala GKJ ada yang sesuai dengan perhitungan hari dalam pelaksanaan slametan dengan tujuan menghargai produk budaya warisan nenek moyang. Di sisi lain, pelaksanaan bidstond ala GKJ tersebut ada yang tidak tepat dengan perhitungan hari pelaksanaan slametan. Menurut budaya Jawa, acara slametan harus dilaksanakan pada hari tertentu dengan hitungan tertentu. GKJ mengizinkan pelaksanaan ritual tersebut dengan Tim, Pokok-pokok Ajaran Gereja Kristen Jawa Salatiga Sinode GKJ, 2005. Labeti Pandangan Gereja Kristen Jawa GKJ Terhadap Budaya Dalam Konteks Masyarakat Jawa Copyright© 2021; Jurnal Teologi Berita Hidup, ISSN 2654-5691 online, 2656-4904 print76 tujuan menghormati pengajaran Alkitab bahwa semua hari yang diciptakan Tuhan adalah baik dan tidak ada hari yang paling baik dari hari yang lain; semua sama di hadapan Tuhan karena Dialah yang menciptakan dengan sungguh amat baik adanya. Gendhing Gerejawi Sejak tahun 1931, dalam praktik ibadahnya GKJ hanya memperbolehkan menggunakan 1. Alat musik sebagai pengiring ibadah yaitu organ. 2. Repertoar hanya dari Kidung Pasamuwan Kristen yang semuanya menggunakan laras diatonis. 3. Zangkoor paduan suara diizinkan menjadi bagian dalam ibadah reguler hari Minggu. Ketertutupan gereja Belanda terhadap segala bentuk budaya Jawa lambat laun dipertimbangkan ulang oleh GKJ sehingga muncullah kebaruan dalam hal seni musik di kalangan GKJ. Fakta sejarah GKJ membuktikan bahwa pada tahun 1970 Sudarsono Wignyosaputro menjadi pionir GKJ tatkala menciptakan gendhing-gendhing gerejawi yang didokumentasikan menjadi Langen Sekar Pamuji dan masih digunakan sampai dengan saat ini. Era 1970 tersebut juga menjadi zaman keterbukaan GKJ terhadap instumen gamelan sehingga instrumen musik tradisional tersebut mulai diterima masuk ke dalam gedung gereja. Walaupun saat ini gereja se-Sinode GKJ berjumlah 331 gereja dengan 32 klasis, namun tidak semua gereja memiliki gamelan. Alasan sebagian besar GKJ tidak memiliki instrumen gamelan di antaranya adalah 1. Harga seperangkat gamelan yang cukup mahal. 2. Ibadah yang menggunakan gamelan belum dapat dirasakan rasa Jawanya, berbeda dengan instrumen musik Barat seperti organ. 3. Pelestari dan penikmat gendhing-gendhing Jawa di kalangan GKJ umumnya adalah orang-orang GKJ yang berusia di atas 50 tahun. Setidaknya dengan fakta tersebut membuktikan bahwa gendhing dan gamelan di dalam gereja bukan suatu hal yang tabu atau dipandang terkait dengan dunia roh nenek moyang. Gamelan sudah diterima GKJ masuk dalam peribadahan gerejawi sebagai alternatif instrumen karunia Tuhan yang digunakan sebagai bagian integral musik ibadah GKJ. Kelompok Kesenian Inter-religius Tatkala GKJ melahirkan KOKOMAS pada tahun 1967, di lapangan pelayanan GKJ sebenarnya telah terbentuk kelompok-kelompok seni yang berkembang di zamannya, di antaranya sebagai berikut 1. Kelompok karawitan. 2. Seni kethoprak. 3. Wayang dalam hal ini Wayang Wahyu, Wayang Perjanjian yang adegan-adegan dalam pementasan sejalan dengan ajaran Kristen. 4. Kelompok keroncong. 5. Kelompok kulintang. Kelompok-kelompok seni yang dikembangkan oleh gereja-gereja se-Sinode GKJ tersebut melibatkan juga pihak dari luar gereja khususnya yang beragama Islam. Di lapangan Jurnal Teologi Berita Hidup, Vol 4, No 1, September 2021 Copyright© 2021; Jurnal Teologi Berita Hidup, ISSN 2654-5691 online, 2656-4904 print77 ditemukan bahwa pengrawit atau penabuh gamelan, pelatih karawitan, arranger gendhing gerejawi, pemain kethoprak, dan kelompok seni lainnya tidak seratus persen warga gereja GKJ. Keterbukaan terhadap agama lain menjadi titik pijak gereja-gereja dalam mengembangkan seni budaya di gereja-gereja kalangan GKJ. Hal tersebut terjadi setidaknya karena adanya perkembangan paradigma teologi GKJ terutama sikap terhadap agama-agama lain sehingga pelaku-pelaku seni di kalangan GKJ bekerjasama dengan saudaranya yang beragama lain untuk mengembangkan kesenian tradisional tersebut. Kenyataan yang demikian membuktikan bahwa GKJ mulai menyadari eksistensinya sebagai bagian dari masyarakat Jawa yang berbudaya Jawa. Warisan-warisan gereja Belanda lambat laun disikapi dengan arif dan bijaksana sehingga tidak serta merta meninggalkan atau menghapus begitu saja sejarah gereja masa lalu. Dengan sikap akomodatif terhadap kebudayaan Jawa, gereja memberi warna baru dalam diskursus Injil dan kebudayaan; sehingga GKJ masa kini sudah akrab dengan budayanya sendiri. Khitan Tradisi khitan yang dapat ditemukan dalam tradisi Alkitab maupun yang dipraktikan oleh masyarakat Jawa, pada awalnya memang menjadi persoalan dalam ranah dogma atau ajaran gereja. Gereja Belanda begitu keras menolak orang-orang Jawa yang akan mengkhitankan anaknya. Sanksi tegas sampai dikeluarkan dari keanggotaan gereja dapat diberlakukan gereja pada masa lalu bagi orang-orang GKJ yang melanggar larangan tersebut. Mulai tahun 1970, kesadaran berdialog dengan tradisi khitan menunjukkan hasil yang cukup signifikan. Orang-orang GKJ yang melakukan khitan bagi anaknya pada era tersebut tidak lagi mendapatkan sanksi gerejawi, karena gereja mengalami pergeseran paradigma dalam memandang hal khitan. Bahwa khitan yang dipahami GKJ sejak masa tersebut bukan sebagai inisiasi terkait dengan tradisi Islam, tetapi khitan dimaknai dari sisi kesehatan bahwa pengeratan saat khitan bertujuan untuk kesehatan reproduksi anak laki-laki yang nantinya akan beranjak menjadi dewasa. Oleh karena itu pada masa kini sekalipun gereja mengetahui ada orang-orang GKJ yang mengkhitankan anaknya, mereka tidak akan diekskomunikasi oleh gereja. Bahkan gereja memfasilitasi jika keluarga yang mengkhitankan anaknya mengucap syukur kepada Tuhan melalui pelayanan bidstond keluarga atas khitan yang akan atau sudah terjadi. Labeti Pandangan Gereja Kristen Jawa GKJ Terhadap Budaya Dalam Konteks Masyarakat Jawa Copyright© 2021; Jurnal Teologi Berita Hidup, ISSN 2654-5691 online, 2656-4904 print78 Lembaga Kajian Budaya Jawa Konservatori Kebaruan dalam organisasi GKJ bukan hanya dalam hal pengajaran maupun paradigma terkait praktik-praktik kehidupan orang-orang GKJ. Sinode GKJ melakukan penataan kelembagaan agar GKJ mempunyai jejaring yang lebih luas dan dengan jejaring tersebut cakupan pelayanan lebih maksimal. Maka, pada Mei tahun 2006, dibentuklah Lembaga Kajian Budaya Jawa Lemkabuja Sinode GKJ. Tujuan didirikan lembaga tersebut untuk memelihara kesadaran GKJ tentang Injil dan budaya sehingga diharapkan muncul paradigma-paradigma baru yang menjawab tantangan zaman. Selain itu lembaga tersebut bertujuan mengkaji nilai-nilai budaya Jawa sehingga praktik budaya dalam kehidupan GKJ mendukung tugas panggilan gereja di tengah dunia yaitu mendatangkan damai sejahtera. Target kerja Lemkabuja Sinode GKJ tersebut adalah penulisan buku-buku yang terkait budaya, menerbitkan jurnal Lemkabuja, mengadakan kajian-kajian budaya bekerja sama dengan lembaga lain, mengadakan festival-festival budaya seperti festival keroncong, festival gendhing gerejawi, dan kegiatan lain yang terkait dengan budaya. Lembaga tersebut bukan lembaga yang sama sekali baru dalam sejarah GKJ. Tujuan dan arah lembaga tersebut pada dasarnya hampir sama dengan Dinas Komunikasi Massa atau KOKOMAS yang pernah dimiliki GKJ tahun 1967. Setidaknya dengan adanya lembaga yang core pelayanannya adalah budaya Jawa sekalipun bentuknya seperti KOKOMAS dengan “baju baru,” lembaga tersebut menjadi bukti semakin terbukanya GKJ terhadap budaya Jawa dan upaya GKJ dalam menggunakan budaya sebagai bagian integral dalam kehidupan bergereja. Penutup Menjadi gereja yang berbasis budaya Jawa bukan gereja Kristen Belanda yang ditanamkan di tanah Jawa adalah keniscayaan bagi GKJ. Terbuka kesempatan luas bagi GKJ terkait dengan budaya maupun adat istiadat warisan nenek moyang sehingga GKJ benar-benar menjadi gereja yang berbasis budaya Jawa. Kekristenan yang telah diwarisi dari gereja Belanda menjadi dasar iman GKJ, sementara budaya Jawa digunakan sebagai sarana pengembangan pelayanan GKJ dalam menjalani panggilan di dunia bersama dengan masyarakat Jawa untuk mewujudkan damai sejahtera dalam kehidupan bersama sejalan dengan falsafah Jawa memayu hayuning bawana. Ada alternatif atau upaya-upaya untuk membangun kerangka konseptual gereja yang berbasis budaya Jawa sebagai berikut. Gereja yang Kontekstual Gereja bukan suatu komunitas iman yang terpisah dari dunia, tetapi gereja ditempatkan Tuhan di tengah dunia untuk mengembangkan kehidupan yang lebih beradab Jurnal Teologi Berita Hidup, Vol 4, No 1, September 2021 Copyright© 2021; Jurnal Teologi Berita Hidup, ISSN 2654-5691 online, 2656-4904 print79 khususnya menggunakan jalur kebudayaan. Pendekatan kebudayaan menjadi jembatan yang paling arif dalam membangun jejaring antara GKJ dengan pihak di luar gereja baik agama lain maupun masyarakat setempat. Pieris berpendapat bahwa agama-agama di Asia memiliki sumber profetik-politis maka gereja harus menyadari bahwa ada konsep kebenaran yang diimani dan diyakini dalam agama lain. Demikian pula teologi Barat yang menutup kebudayaan dalam praktik bergereja seharusnya menjadi sebuah kesadaran gereja bahwa tugas panggilan gereja salah satunya memerdekakan asumsi-asumsi tentang kebudayaan Timur yang kadang dinilai terkait roh jahat dan rendah. Tampak bahwa Pieris mengajak gereja untuk berpikir secara liberal walaupun penafsiran ulang atas teks Alkitab dan proses kontekstualisasi gereja akan menghasilkan paradigma baru dalam karya pelayanan gereja di tengah lembaga maupun persidangan sinode menjadi wahana bagi GKJ untuk mengkontekstualisasikan pengajaran Alkitab sehingga GKJ mampu menjawab tantangan zaman khususnya tentang budaya yang menjadi bagian hidup gereja setempat. Bisa jadi warna Injil dan kebudayaan di masing-masing gereja berada berbeda-beda karena konteks dan kultur masyarakat Jawa yang juga heterogen budaya Jawa Timur, pesisir Utara atau Selatan pantai Jawa, budaya pengaruh Kraton Yogyakarta atau pun Solo, Jawa Barat, dan budaya metropolitan. Realitas kultur masyarakat yang hidup di sekitar gereja harus disikapi dengan kebaruan paradigma sehingga GKJ makin membumi atau menjawa. GKJ dan Budaya Baru Ajaran-ajaran Alkitab jika dikomparasikan dengan falsafah hidup orang Jawa akan ditemukan titik temu yang tidak bertentangan, misalnya 1. Konsep Jawa tentang Sangkan Paraning Dumadi prima kausa dalam bahasa teknis Kristen disebut Tuhan. 2. Hitungan-hitungan hari baik dalam khasanah pemikiran Jawa tiga hari, tujuh hari, empat puluh hari, seratus hari, seribu hari dapat ditemukan juga dalam Alkitab yaitu Tiga hari Yesus Kristus mengalahkan maut di dunia kegelapan orang mati neraka, tujuh hari Tuhan Allah menciptakan alam semesta, empat puluh hari Yesus Kristus berpuasa di padang gurun, seratus orang dalam pasukan yang disiapkan Musa untuk melawan musuh bangsa Israel, dan konsep kerajaan seribu tahun yang ditemukan dalam kitab terakhir Alkitab. 3. Pengajaran-pengajaran tentang kasih kepada sesama manusia misalnya dalam konsep Jawa terdapat pengajaran aja njiwit yèn ora péngin dijiwit jangan mencubit jika tidak ingin dicubit; di Aloysius Pieris, Berteologi dalam Konteks Asia Yogyakarta Kanisius, 1996. Labeti Pandangan Gereja Kristen Jawa GKJ Terhadap Budaya Dalam Konteks Masyarakat Jawa Copyright© 2021; Jurnal Teologi Berita Hidup, ISSN 2654-5691 online, 2656-4904 print80 dalam Alkitab pun dapat ditemukan ajaran yang sama bahwa “apa yang engkau kehendaki dilakukan oleh saudaramu kepadamu, lakukanlah demikian terhadap mereka.” Pengajaran Injil dan budaya Jawa terdapat titik temu yang dapat dikembangkan menjadi sebuah kebudayaan baru. Sukarto memberikan saran kepada GKJ bahwa GKJ seharusnya mampu membuat tradisi baru dalam kendurèn warga gerejanya dengan terminologi andum bujana asih sharing a meal of love atau perjamuan berbagi kasih. Sukarto mengatakan bahwa dalam konsep kosmologi Jawa jagad gedhé dan jagad cilik terjalin dengan erat sehingga manusia Jawa sangat menghargai alam sebagai bagian dari hidupnya; demikian pula dengan makanan yang dihasilkan dari bumi. Sukarto menawarkan tradisi tersebut tidak lain berdasar komparasi tradisi Perjamuan Kudus yang diperintahkan Yesus Kristus untuk diteruskan pengikut-Nya ritual makan dan minum bersama menjelang Yesus Kristus disalibkan di bukit Golgota dengan tradisi slametan yang terdapat juga doa atau ujub kemudian acara makan serta minum bersama dengan tetangga maupun saudara yang punya mengupayakan kontekstualisasi Injil di tengah masyarakat Jawa maka akan terbangun konstruksi berpikir teologi gereja yang lebih menjawa. Demikian pula ketika GKJ terpanggil untuk terus melakukan terobosan-terobosan dalam membangun budaya baru transformasi budaya setempat dan Injil maka GKJ semakin dirasakan kehadirannya di tengah masyarakat serta semakin menjadi bagian penting dari masyarakat sebagai pewaris maupun pelestari budaya Jawa peninggalan nenek moyang. KESIMPULAN Identitas GKJ yang terbangun dari bagian masyarakat suku Jawa semakin tampak dengan paradigma yang terbuka terhadap budayanya sendiri. Sinergi antara GKJ dengan budaya Jawa menguatkan kehadiran gereja di tengah masyarakat sehingga harapan memayu hayuning bawana mempercantik dunia dengan damai sejahtera semakin mewujud. Gereja yang lepas dari akar budayanya akan menjadi gereja yang terasing dari masyarakatnya sendiri. REFERENSI Banawiratma, J. B. Yesus Sang Guru Pertemuan Kejawen dengan Injil. Yogyakarta Yayasan Kanisius, 1977. Aristarchus Sukarto, “Witnessing to Christ Through Eucharist A Proposal for the Java Christian Churches to Contextualize and to Communicate the Gospel to Its Community” Lutheran School of Theology Chicago, 1993. Jurnal Teologi Berita Hidup, Vol 4, No 1, September 2021 Copyright© 2021; Jurnal Teologi Berita Hidup, ISSN 2654-5691 online, 2656-4904 print81 Dahlstrom, Daniel, O. Philosophy of Mind and Phenomenology Conceptual and Empirical Approach. New York Routledge, 2016. Dirjosanjoto, Pradjarta. Sumber-sumber tentang Sejarah Gereja Kristen Jawa 1896-1980. Salatiga Sinode GKJ, 2008. Kronegger, Marlies. Phenomenology and Aesthetics. Dordrecht The Netherlands Kluwer Academic Publisher, 1991. Küster, Volker. The Many Faces of Jesus Christ. London SCM Press, 1999. Lombard, Denys. Nusa Jawa Silang Budaya Bagian I Batas-batas Pembaratan. Jakarta Gramedia, 2008. Niebuhr, N. Richard. Kristus dan Kebudayaan. Jakarta Yayasan Satya Karya, Pieris, Aloysius. Berteologi dalam Konteks Asia. Yogyakarta Kanisius, 1996. Sastrokasmojo, Padmono. Gendhing Gerejawi Perjumpaan Kekristenan dengan Agama Islam dan Budaya Jawa. Yogyakarta Duta Wacana University Press, 2017. Scheiter, Robert J. Rancang Bangun Teologi Lokal. Jakarta PT. BPK Gunung Mulia, 1993. Soekotjo, Sejarah Gereja-gereja Kristen Jawa Jilid 1. Yogyakarta Taman Pustaka Kristen, 2009. ———. Sejarah Gereja-gereja Kristen Jawa Jilid 2. Yogyakarta Taman Pustaka Kristen, 2010. Sukarto, Aristarchus. “Witnessing to Christ Through Eucharist A Proposal for the Java Christian Churches to Contextualize and to Communicate the Gospel to Its Community.” Lutheran School of Theology Chicago, 1993. Supanggah, Rahayu. Bothèkan Karawitan I. Jakarta Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, 2002. Suparno, T. Slamet. Pakeliran Wayang Purwa Dari Ritus sampai Pasar. Surakarta ISI Press Solo, 2011. Sutrisno, Mudji. Teori-teori Kebudayaan. Yogyakarta PT. Kanisius, 2005. Tim. Pengajaran Agama Kristen Katekismus Heidelberg. Salatiga Sinode GKJ, 1983. ———. Pokok-pokok Ajaran Gereja Kristen Jawa. Salatiga Sinode GKJ, 2005. Widiasih, Ester Pudjo. “The Ritualization of Remembering the Dead among The Christian Javanese A Study Of Liturgical Contextualization In A Reformed Church In Indonesia.” Drew University Madison New Jersey Amerika, 2012. Widyatmanta, Siman. Sikap Gereja terhadap Budaya dan Adat-Istiadat. Yogyakarta Badan Musyawarah Gereja-gereja Jawa, 2007. ... For instance, Rumbay et al. 2022;Rumbay 2021aRumbay , 2021b offer a harmony between Christian leadership and Minahasan philosophy, pneumatology and ancestral spirits practice and against any lack of cultural accommodation, and culinary identity and Adventism. Therefore, Labeti 2021 argues that the church ought to be more hospitable and open to any local culture. ...Stimson HutagalungChristar Arstilo Rumbay Rolyana FeriniaThe integration or inculturation of religion and culture has been massively and controversially discussed despite being successfully presented by Islam Nusantara. Therefore, this study attempts to delve into the possibilities of integrating Christianity into the culture of Indonesia by seeking the Islam Nusantara experience. The study employed a qualitative method, using literature, articles, books and related references, and attempted to reconstruct the Islamic dimension concerning inculturation. Subsequently, the opportunity for Christianity will be displayed and formulated to establish a hospitable religion. This will offer a chance to improve and develop its identity regarding integration into the local culture by respecting without destroying, contextualising without syncretising and negotiating without compromising. Contribution This article contributes to the ongoing debates on culture and Christianity in Indonesia. Islam Nusantara offers an opportunity and example of how religion and culture should collaborate. The expectation is that the collaboration will display a solid formation to other contexts in Asia or Africa that could arrange a fruitful conversation between culture and Soehadha Ustadi HamsahDisease prevention is almost always done with a modern approach through medical science or other public health sciences. This approach is the primary reference in mitigating the spread of the disease. In fact, in Indonesian society, there are local wisdoms in the traditions of each ethnic group in tackling the spread of disease, for example, the Javanese tradition. Javanese culture has local wisdom in dealing with pandemics passed down from generation to generation. This study attempts to answer how the mitigation pattern in Javanese culture is. Anthropologically, pandemics can be studied under health anthropology on disease. By taking the case of the Javanese people in Indonesia, this article describes local ways of preventing and overcoming disease outbreaks or mitigating disease outbreaks. The data source of this article is produced from qualitative research through interview techniques, focus group discussions, online seminars, and the study of manuscripts from magazines published in Java. The results showed that local communities, in addition to knowing the causes of disease, also developed ways to prevent and eliminate diseases, and mitigate outbreaks and pandemics. Javanese people see the mitigation of diseases physically and psychically. Physical mitigation tends to be in line with modern medical methods and the application of new normal. The mitigation of psychics is done by using mantras and songs and developing Javanese attitude of “narima ing pandum” take it as it comes.Roy Martin SimanjuntakHidup menggereja adalah sebuah aktualisasi iman dalam masyarakat, yang mampu meghadirkan Allah di tengah dunia. Gereja seringkali melupakan perannya di tengah masyarakat karena terfokus kepada masalah-masalah spiritualitas secara interen. Panggilan hidup menggereja dalam bingkai relasi sosial sebenarnya sebuah upaya gereja dalam menciptakan dan membangun dimensi-dimensi sosial di dalam masyarakat dengan tujuan supaya gereja berpartisifasi dalam membangun persatuan, keharmonisan dalam bermasyarakat dan bernegara. Dalam penelitian ini ditemukan beberapa hal yang harus dipahami oleh orang percaya di dalam hidup menggereja; pertama hidup menggereja dalam bingkai relasi sosial memiliki dasar teologis. Kedua, hidup menggereja di tengah bangsa Indonesia harus memahami keragaman dalam beragama, kekayaan budaya serta memahami adanya kesenjangan sosial dalam masyarakat. Metode yang dipakai dalam penelitian ini studi pustaka dengan pendekatan kualitatif Kroneggerand the one in the middle which judges as he enjoys and enjoys as he judges. This latter kind really reproduces the work of art anew. The division of our Symposium into three sections is justified by the fact that phenomenology, from Husserl, Heidegger, Moritz Geiger, Ingarden, in Germany and Poland, Merleau-Ponty, Paul Ricoeur, E. Levinas in France, Unamuno in Spain, and Tymieniecka, in the United States, have revealed striking coincidences in trying to answer the following questions What is the philosophical vocation of literature? Does literature have any significance for our lives? Why does the lyric moment, present in all creative endeavors, in myth, dance, plastic art, ritual, poetry, lift the human life to a higher and authentically human level of the existential experience of man? Our investigations answer our fundamental inquiry What makes a literary work a work of art? What makes a literary work a literary work, if not aesthetic enjoyment? As much as the formation of an aesthetic language culminates in artistic creation, the formation of a philosophical language lives within the orbit of creative imagination. Aristarchus SukartoThesis Th. D.-Lutheran School of Theology at Chicago, 1993. Includes bibliographical references leaves 250-284. Microfiche. sYesus Sang Guru Pertemuan Kejawen dengan InjilJ B BanawiratmaBanawiratma, J. B. Yesus Sang Guru Pertemuan Kejawen dengan Injil. Yogyakarta Yayasan Kanisius, of Mind and Phenomenology Conceptual and Empirical ApproachDaniel DahlstromDahlstrom, Daniel, O. Philosophy of Mind and Phenomenology Conceptual and Empirical Approach. New York Routledge, Many Faces of Jesus ChristVolker KüsterKüster, Volker. The Many Faces of Jesus Christ. London SCM Press, Yayasan Satya Karya, Pieris, Aloysius. Berteologi dalam Konteks Asia. Yogyakarta Kanisius, 1996. Sastrokasmojo, Padmono. Gendhing Gerejawi Perjumpaan Kekristenan dengan Agama Islam dan Budaya JawaN NiebuhrRichardKristus Dan KebudayaanNiebuhr, N. Richard. Kristus dan Kebudayaan. Jakarta Yayasan Satya Karya, Pieris, Aloysius. Berteologi dalam Konteks Asia. Yogyakarta Kanisius, 1996. Sastrokasmojo, Padmono. Gendhing Gerejawi Perjumpaan Kekristenan dengan Agama Islam dan Budaya Jawa. Yogyakarta Duta Wacana University Press, Bangun Teologi LokalRobert J ScheiterScheiter, Robert J. Rancang Bangun Teologi Lokal. Jakarta PT. BPK Gunung Mulia, Gereja-gereja Kristen Jawa Jilid 1. Yogyakarta Taman Pustaka KristenS H SoekotjoSoekotjo, Sejarah Gereja-gereja Kristen Jawa Jilid 1. Yogyakarta Taman Pustaka Kristen, 2009. -. Sejarah Gereja-gereja Kristen Jawa Jilid 2. Yogyakarta Taman Pustaka Kristen, 2010. Y Ambon, guru, Kristen Pernyataan yang tepat sesuai gambar di atas adalah A. Muncul dominasi kelompok X terhadap kelompok Y B. Terjadi pertentangan antara suku Sunda dan suku Ambon C. Terjadi pertemuan keanggotaan dari suku dan dua profesi D. Adanya penguatan anggota pada kelompok X dan Y E. Terjadi pembauran dua budaya yang membentuk Indonesia merupakan bangsa yang dikarunia Tuhan dengan kekayaan akan keragaman budayanya. Kekayaan khasanah budaya nusantara telah memikat dan menarik perhatian masyarakat mancanegara. Kekaguman mereka akan budaya nusantara membawa ketertarikan untuk mempelajari corak dan keragaman budaya bumi khatulistiwa ini. Budaya yang memikat dunia manca ternyata berbanding terbalik dengan di dalam negeri sendiri, di mana masyarakat Indonesia, tidak lagi menghargai dan melestarikannya. Penelitian ini dilakukan dengan metode kualitatif dan deskriptif untuk melihat bagaimana pandangan etika terhadap kebudayaan nusantara dan begaimana tanggung jawab etika teologi dalam menjaga kelestarian kebudayaan nusantara. Dalam tanggung jawabnya melestarikan budaya nusantara, maka etika teologi berperan terhadap adanya inkulturasi dan kontekstualisasi Injil dan Budaya. Injil harus dapat menerangi kebudayaan, sehingga dalam kontekstualisasi, konteks budaya harus diterangi oleh teks Alkitab. Injil lebih tinggi dari budaya, sehingga budaya nusantara yang netral dan tidak bertentangan dengan Injil harus dapat dilestarikan. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free 64 Jurnal Teologi Kontekstual Indonesia ISSN 2722-8630 online Vol. 2, No. 1 2021 64–74 Etika Teologis Dalam Memandang Tanggung Jawab Kristen Terhadap Kelestarian Budaya Nusantara Candra Gunawan Marisi1, Didimus Sutanto B Prasetya2, Dewi Lidya S3, Rikson Situmorang4 1, 3, 4 Prodi PK AUD Sekolah Tinggi Teologi Real Batam 2Prodi PK AUD STAKPN Sentani Email candragun dimuss4jc dewilidyasidabutar30 riksonstm1611 Abstract Indonesia is a nation that is gifted by God with a wealth of cultural diversity. The richness of the archipelago's cultural treasures has captivated and attracted the attention of foreign people. Their admiration for the culture of the archipelago brought an interest in studying the patterns and diversity of this equatorial earth culture. The culture that attracts the foreign world turns out to be inversely proportional to that in their own country, where the Indonesian people no longer respect and preserve it. This research was conducted using qualitative with descriptive approach methods to see how the ethical view of the archipelago culture is and how the responsibility of theological ethics is in maintaining the preservation of the archipelago culture. In its responsibility to preserve the culture of the archipelago, theological ethics plays a role in the inculturation and contextualization of the Gospel and Culture. The gospel must be able to illuminate culture, so that in contextualization, context culture must be illuminated by the text Bible. The gospel is higher than culture, so the culture of the archipelago which is neutral and does not conflict with the Bible must be preserved. Key words Culture, Archipelago, Sustainability, Theological Ethics Abstrak Indonesia merupakan bangsa yang dikarunia Tuhan dengan kekayaan akan keragaman budayanya. Kekayaan khasanah budaya Nusantara telah memikat dan menarik perhatian masyarakat Mancanegara. Kekaguman mereka akan budaya Nusantara membawa ketertarikan untuk mempelajari corak dan keragaman budaya bumi khatulistiwa ini. Budaya yang memikat dunia manca ternyata berbanding terbalik dengan di dalam negeri sendiri, di mana masyarakat Indonesia kurang menghargai dan melestarikannya. Penelitian ini dilakukan dengan metode kualitatif dengan pendekatan deskriptif untuk melihat bagaimana pandangan etika terhadap kebudayaan Nusantara dan begaimana tanggung jawab etika teologi dalam menjaga kelestarian kebudayaan Nusantara. Dalam tanggung jawabnya melestarikan budaya nusantara, maka etika teologi berperan terhadap adanya inkulturasi dan kontekstualisasi Injil dan Budaya. Injil harus dapat menerangi kebudayaan, sehingga dalam kontekstualisasi, konteks budaya harus diterangi oleh teks Alkitab. Injil lebih tinggi dari budaya, sehingga budaya Nusantara yang netral dan tidak bertentangan dengan Injil harus dapat dilestarikan. Kata kunci Kebudayaan, Nusantara, Kelestarian, Etika Teologi. Pendahuluan Indonesia merupakan bangsa yang dikarunia Tuhan dengan kekayaan akan keragaman budayanya. Keragaman budaya yang membentang dari Sabang sampai Merauke adalah 65 kebudayaan Adiluhung warisan nenek moyang yang menjadi tradisi turun-temurun. Kekayaan khasanah budaya Nusantara telah memikat dan menarik perhatian masyarakat Mancanegara. Kekaguman mereka akan budaya Nusantara membawa ketertarikan untuk mempelajari corak dan keragaman budaya bumi khatulistiwa ini. Budaya yang memikat dunia manca ternyata berbanding terbalik dengan di dalam negeri sendiri, di mana masyarakat Indonesia, tidak lagi menghargai dan melestarikannya. Budaya Adiluhung diambang krisis, tergerus dengan modernisasi dan budaya asing yang digandrungi kaum muda. Cepat atau lambat, jika hal ini dibiarkan maka budaya Nusantara akan tergeser dan tergusur dari bumi Pertiwi. Kejayaannya hanya akan menjadi sebuah kenangan belaka. Bangsa yang kehilangan budayanya akan menjadi bangsa yang kehilangan jati diri, mengalami krisis identitas. Hal ini, tentu menjadi keprihatinan bersama dari semua lapisan masyarakat bangsa. Dalam hal ini, termasuk menjadi tanggung jawab masyarakat gereja. Alih-alih melestarikan budaya, tetapi justru sebaliknya. Kehadiran gereja di Nusantara justru diikuti dengan berkembangnya budaya Eropa, dan cenderung kebarat-baratan. Mulai dari tata ibadah, busana, musikalitas hingga ornamen-ornamen gereja sampai arsitektur bangunan gereja semua berbau Eropa. Perlahan-lahan mulai meninggalkan budaya asli Nusantara dan membentuk identitas baru, menjadi orang Nusantara rasa sejarah, budaya Nusantara dianggap budaya yang lahir dari penyembahan berhala, animisme, dinamisme bahkan paganisme sehingga dianggap bertentangan dengan kebenaran Firman Tuhan. Anggapan ini menjadikan budaya berlawanan dengan kekristenan dan harus ditinggalkan. Keengganan gereja untuk menerima budaya lokal mendapat tentangan dari orang lokal, sehingga hal ini menjadi kontra produktif bagi pemberitaan Injil. Hingga sejarah mencatat bahwa keberhasilan penginjilan di Nusantara adalah dimulai dari keberhasilan mengadopsi budaya lokal Nusantara. Sebagai contoh, kisah penginjilan di tanah Jawa oleh Paulus Tosari, Kyai Tunggul Wulung dan Kyai Sadrakh. Melakukan penginjilan kepada orang Jawa dengan pendekatan budaya Jawa, walaupun kemudian dituduh melakukan sinkritisme. Menurut Arie de Kuiper, bahaya sinkritisme selalu mengancam dalam upaya untuk menyesuaikan Injil dengan budaya, terlebih bila mengorbankan keaslian Injil demi keaslian budayanya. Hal ini yang mendasari Nommensen dalam membawa suku Batak mengenal Kristus. Nommensen tidak menentang adat Batak, tetapi menjadikannya sebagai jembatan bagi pemberitaan Injil di tanah Batak. Ia membaginya ke dalam tiga kategori, yaitu 1 Adat yang netral; 2 Adat yang bertentangan dengan Injil; dan 3 Adat yang sesuai dengan Luni Tumanan, “Ibadah Kontemporer Sebuah Analisis Reflektif Terhadap Lahirnya Budaya Populer Dalam Gereja Masa Kini,” Jurnal Jaffray 13, no. 1 2015 35, John Chambers and Haskarlianus Pasang, Cara Pandang Kristen Bogor Langham, 2015. 169 Ezra Tari, “Bagaimana Kita Bisa Melawan Sinkritisme Di Dalam Misi Kita?” 2012 1–15. Kuiper Arie De, Missiologia Jakarta BPK Gunung Mulia, 2009. 91 Mangapul Sagala, Apakah Benar Adat Batak Bertentangan Dengan Injil? Makalah Seminar Sehari “Adat Batak Dan Injil” Jakarta Yayasan Gema Kyriasa, 2004. 66 Berdasarkan perihal tersebut, maka tidak semua budaya itu negatif dan bertentangan dengan kebenaran Firman Tuhan sehingga harus ditolak dan dihindari. Tetapi justru sebaliknya harus dapat dilestarikan dan diwariskan kepada generasi penerus. Memang tidak dipungkiri ada budaya yang bertentangan dengan kebenaran Firman Tuhan, hal inilah yang seharusnya ditolak dan ditinggalkan. Hal ini menempatkan Etika teologi untuk dapat memandang kepada kebudayaan Nusantara yang netral dan tidak bertentangan dengan Injil untuk dapat dilestarikan. Dengan demikian, tanggung jawab kekristenan dalam melestarikan kebudayaan Nusantara adalah sebuah keniscayaan. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah, pertama bagaimana peran etika teologi dalam memandang budaya Nusantara yang netral, bertentangan atau dapat diakomodasi serta dikuduskan. Kedua, bagaimana peran etika teologi dalam tanggung jawab kelestarian budaya Nusantara. Tujuan penelitian ini adalah, pertama menjelaskan peran etika teologi dalam memandang budaya Nusantara dan kedua, merumuskan peran etika teologi dalam tanggung jawab kelestarian budaya Nusantara. Metode Penelitian ini dilakukan dengan metode kualitatif, penulis mengumpulkan data-data dari berbagai sumber, yang kemudian dianalisa dan dikembangkan sebagai bagian analisa data. Penelitian ini juga merupakan penelitian deskriptif, yakni menyelidiki literatur yang berkaitan dengan topik, termasuk menafsirkan ayat firman Tuhan yang berkaitan dengan topik untuk mendapatkan suatu data tentang peran etika teologi terhadap kelestarian budaya Nusantara. Hasil dan Pembahasan Peran Etika Teologi Dalam Memandang Kebudayaan Nusantara Istilah etika teologi tidak bisa dipisahkan dari etika secara umum, di mana dapat dimengerti setelah memahami etika secara umum. Etika teologis merupakan etika yang erat kaitannya dengan agama dan berisikan tentang unsur etika umum dan dapat umum, etika teologis dapat didefinisikan sebagai etika yang bertitik tolak dari presuposisi-presuposisi teologis, dalam hal ini yang bersumber dari adalah salah satu negara yang dianugerahi Tuhan dengan kekayaan budaya yang beragam. Ragam budaya dari setiap suku membentuk adat kebiasaan yang diwariskan turun-temurun dalam kurun waktu berabad-abad tahun lampau lamanya itulah yang dimaksud dengan budaya Nusantara. Secara etimologi asal kata, kebudayaan berasal dari kata Sonny Eli Zaluchu, “Strategi Penelitian Kualitatif Dan Kuantitatif Di Dalam Penelitian Agama,” Evangelikal 4, no. 1 2020 28–38. Ibid. Johannes Verkuyl, Etika Kristen Dan Kebudayaan, 2nd ed. Jakarta Badan Penerbit Kristen, 1996. 13-14 Paul L Lehman, Ethics in a Christian Context New York Harper & Row Publisher, 1963. 25 67 “buddhayah” bahasa Sansekerta. Kata jamak “buddhi”, yang berarti budi atau akal dan kata “dayah” berarti kemampuan. Kebudayaan berarti, hal-hal yang berkaitan dengan hasil pemikiran atau berakal. Menurut Verkuyl, kebudayaan adalah segala sesuatu yang diciptakan oleh akal manusia, yang berhubungan erat dengan pengerjaan atau pengelolaan kemungkinan-kemungkinan dalam alam penciptaan oleh manusia dalam lingkup mengatakan bahwa kebudayaan, sebagai segala sesuatu yang berkaitan dengan cara hidup dan kebiasaan manusia secara utuh, meliputi cara berpikir, dan mengisi kehidupan dengan melakukan yang dipikirkannya itu, dengan tujuan untuk menata, memelihara serta mempertahankan kehidupannya di dalam konteks di mana ia berada. Sementara Sarinah menyatakan bahwa kebudayaan merupakan cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama suatu kelompok orang yang diwariskan turun-temurun. Setiap kebudayaan terdapat makna, tujuan dan pesan tersendiri yang ingin disampaikan. Oleh karenanya memerlukan suatu keahlian dalam menginterpretasikan kebudayaan untuk membangun suatu pengertian, pemahaman dan penerimaan suatu kebudayaan itu dibedakan ke dalam tiga bentuk, menurut Hoenigman, yaitu gagasan, aktivitas dan artefak. Di mana gagasan merupakan wujud kebudayaan yang terdiri dari ide, nilai atau norma peraturan dalam adat-istiadat. Aktivitas merupakan wujud kebudayaan yang tampak dalam tindakan manusia dalam berinteraksi, bergaul dengan manusia yang lain berdasarkan pola-pola tertentu tingkah laku yang di dasarkan atas adat kebiasaan mereka. sedang artefak adalah wujud kebudayaan berupa benda dan semua karya manusia yang dapat dilihat, diraba dan didokumentasikan. Dasar Alkitabiah Kebudayaan Kebudayaan sebagai hasil karya cipta manusia menunjukkan bahwa hal ini tidak bisa dipisahkan dari awal terciptanya manusia itu sendiri. Dengan kata lain, kebudayaan manusia itu terbentuk sejak penciptaan. Namun, penciptaan dan kebudayaan tidak bisa disamakan karena penciptaan adalah apa yang Allah karyakan, bersumber dari Pribadi Allah, sedangkan kebudayaan adalah apa yang manusia karyakan, bersumber dari manusia yang merupakan hasil ciptaan Allah. Hal ini membuktikan bahwa Alkitab itu melampaui dari segala macam bentuk kebudayaan manapun. Sebagai implikasinya adalah bahwa segala sesuatu harus mengacu dan diuji berdasarkan standar Alkitab. Dengan demikian, dasar kebudayaan harus dilihat berdasarkan dasar Alkitabiahnya. Kej. 1 28; 215 telah membuktikan bahwa cikal Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Jakarta Rineka Cipta, 2009. 181 Verkuyl, Etika Kristen Dan Kebudayaan. 13-14 Yakub Tomatala, Antropologi; Dasar Pendekatan Pelayanan Lintas Budaya Jakarta YT Leadership Foundation, 2007. 17. Sarinah, Ilmu Budaya Dasar Sleman CV Budi Utama, 2019. 11. Harold Netland, Encountering Religious Pluralism The Challenge to Christian Faith Mission Downers Grove IVP Acadamic, 2001. 57. Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi. John M Frame, “Kekristenan Dan Kebudayaan Bagian 1,” Veritas Jurnal Teologi dan Pelayanan 6, no. 1 2005 1–27. 68 bakal kebudayaan adalah diciptakannya manusia. Dengan demikian, di mana ada manusia di situ ada diciptakan menurut gambar dan rupa Allah, hal ini berimplikasi bahwa manusia memiliki konskuensi antara lain 1 Secara aspek rohani akan mampu mengenali suatu wilayah agama atau kepercayaan. Melalui natur ini, manusia akan mampu mengenali sifat-sifat atau hal-hal yang supra-natural. 2 Aspek etika-moralitas, manusia akan mengerti suatu wilayah kebudayaan atau adat-istiadat. Hal ini seharusnya membawa manusia mengerti bagaimana bersikap, bertutur dan bersantun. 3 Aspek hukum, manusia akan mencari dan menemukan keadilan dalam prilakunya. Di sini manusia dituntut suatu pertanggung jawaban dalam berprilaku. Di mana ada sifat keadilan Allah yang ditanam dalam hati manusia, sehingga ada konsekuensi-konsekuensi dari setiap prilaku yang dilakukannya, oleh karenanya manusia dituntut untuk berpikir dan berhati-hati atas setiap tindakan yang akan dilakukannya. 4 Aspek rasio, akan membawa manusia mengenal pendidikan dan pengembangan diri. Ada kecenderungan untuk selalu melakukan aktivitas rasionalisasi dan akan selalu mencari yang dirasakan lebih baik daripada yang Kebudayaan Penempatan manusia di taman Eden oleh Allah adalah untuk mengusahakan dan memelihara taman itu, selain untuk beranak cucu dan memenuhi bumi. Hal ini dapat dipahami bahwa berkebudayaan adalah suatu mandat atau perintah agar manusia dapat memenuhi, menaklukkan, menguasai, mengerjakan mengusahakan dan memelihara seluruh ciptaan Allah. Kebudayaan adalah perintah Allah untuk beranak cucu, bertambah banyak dan untuk berkuasa atau mengelola ciptaan Tuhan yang lainnya. Tuhan memberikan perintah kepada manusia untuk mengusahakan budaya yang seharusnya bagi kemuliaan Tuhan. Namun kejatuhan manusia dalam dosa merupakan bukti pemberontakan manusia kepada Allah. Manusia lebih mengikuti kehendaknya sendiri, hal ini menunjukkan bahwa manusia justru takluk dan tunduk serta dikuasai oleh kebudayaan-kebudayaan tertentu. Manusia lebih taat kepada produk kebudayaan dari pada larangan atau perintah Allah sendiri. Mandat budaya menempatkan manusia sebagai satu-satunya ciptaan Allah yang diberi kemampuan berbudaya melalui akal pikirannya. Allah menciptakan alam dan manusia. Sehingga manusia pun seturut teladan Allah mencipta dengan mendayagunakan alam ciptaan-Nya dengan setiap potensi yang telah Allah berikan untuk masing-masing individu. Setiap yang dikerjakan manusia tidak terlepas dari pengaruh budaya yang telah dia ketahui dan warisi. Sehingga hal ini akan berdampak kepada kebudayaan selanjutnya, baik itu dengan menerima, menentang, mengkoreksi bahkan mengembangkan budaya sebelumnya. Budaya Lotnatigor Sihombing, “Tanggung Jawab Gereja Dalam Mewujudnyatakan Karya Kristus Di Sektor Kebudayaan,” Amanat Agung 7, no. 2 2011 257–288. Sundoro Tanuwidjaja and Samuel Udau, “Iman Kristen Dan Kebudayaan,” Jurnal Teologi Kontekstual Indonesia 1, no. 1 2020 1–14. Ibid. 69 yang ditanamkan dan diajarkan turun-temurun dari generasi satu ke generasi berikutnya memberikan suatu identitas pengenalan diri yang melekat dalam diri manusia itu sendiri. Sayangnya, tidak ada satu kebudayaan pun yang membawa manusia mengenali dirinya sebagai gambar dan peta Allah sejati dalam hidupnya. Sehingga kebudayaan pun membawa kepada kebuntuan di dalam pengenalan akan diri yang sejati. Mandat budaya hanya dapat dilakukan dengan wahyu Allah. Hal ini jika tidak berhati-hati justru akan membawa pada pelestarian dosa di dalam kebudayaan yang melawan wahyu kebenaran Tuhan. Oleh karenanya, mandat budaya hanya dapat dilakukan oleh mereka yang sudah mengenal Tuhan karena menjalankan mandat budaya itu berarti menjalankan rencana Allah sesuai dengan desain yang direncanakan-Nya semula. Kebudayaan yang manusia berdosa kerjakan pada akhirnya akan menggantikan posisi Allah dengan hal lain. Di dalam penciptaan yang Allah kerjakan, Allah memiliki tujuan, desain, suatu keteraturan, suatu kesinambungan dan mengandung kebijaksanaan. Tujuan penciptaan Allah adalah untuk menggambarkan kemuliaan Allah. Manusia di dalam kebudayaannya pun memiliki tujuan, pemikiran dan maksud di belakang yang mendasari setiap penampakkan yang terlihat dari setiap kebudayaannya. Oleh karena itu, dalam melaksanakan mandat budaya tersebut dibutuhkan perspektif atau pandangan etika teologis, dalam hal ini tentunya teologi kristen. Bagaimana pandangan etika kristen terhadap suatu kebudayaan atau kebudayaan yang ada di Indonesia, yaitu kebudayaan Nusantara? Perspektif Etika Kristen Tentang Kebudayaan Nusantara Etika kristen merupakan cabang ilmu teologi yang membahas masalah tentang apa yang baik Ethos, bahasa Yunani, yang berarti kebiasaan atau adat dari sudut pandang kekristenan. Standar moral yang digunakan dalam moral kristen adalah kehendak Allah yang terdapat dalam Alkitab. Tuhan memberikan perintah kepada manusia untuk berbudaya dalam kelestarian manusia dan ciptaan yang lainnya Pada dasarnya kebudayaan harus berdasarkan kepada suatu tatanan kehidupan yang membawa dan mengarahkan manusia kepada pengenalan akan Tuhan dan mengasihi Tuhan. Oleh karenanya, segala sesuatu yang sesuai dengan kehendak Allah adalah yang baik. Sehingga dalam kaitannya dengan hal ini adalah apakah kebudayaan yang ada di Indonesia adalah kebudayaan yang mengajarkan moral baik, yaitu moral yang sesuai dengan kehendak Allah. Maka, secara sederhananya adalah bila moral baik atau nilai-nilai atau norma dari suatu kebudayaan itu tidak bertentangan dengan kehendak Allah maka hal itu bisa diterima. Peran Etika Teologi Dalam Tanggung jawab Kelestarian Kebudayaan Nusantara Tanggung jawab kelestarian budaya Nusantara seharusnya menjadi tanggung jawab semua elemen bangsa. Alih-alih merawat dan melestarikan kebudayaan Nusantara, acapkali banyak pihak justru cuek dan mengabaikannya. Kebudayaan dipertentangkan dengan Frame, “Kekristenan Dan Kebudayaan Bagian 1.” 70 kemajuan zaman dan akidah agama, hal ini menjadikan kebudayaan Nusantara mulai ditinggalkan. Setidaknya terdapat dua kelompok yang kontra terhadap kebudayaan Nusantara, yaitu 1 Kelompok modernis, di mana kelompok ini tergila-gila dengan modernitas kemodernan atau kekinian dan kemajuan. Kebudayaan Nusantara dianggap tradisional jadul, usang, kuno, tua dan ketinggalan jaman. 2 Kelompok agamis, baik kelompok islamis dan termasuk kelompok kristen puritan-reformis, di mana kelompok ini adalah kelompok fanatikus agama atau kaum reformis-puritan yang mengidealkan kemurnian ajaran akidah, kesempurnaan praktik doktrin dan ajaran yang bersih dan murni dari unsur-unsur lokal. Ironisnya mereka menolak budaya lokal, tetapi secara tidak disadari mereka membawa budaya baru asing yang dibungkus dalam bungkus rohani agama. Menjadi kearab-araban atau pun kebarat-baratan, terlalu Eropa bahkan keyahudi-yahudian. Sukarno, Proklamator Kemerdekaan Republik Indonesia dan Presiden pertama Indonesia pernah menekankan pentingnya jati diri bangsa, yang berkepribadian kebudayaan Nusantara. Hal ini jangan terkikis oleh budaya luar, termasuk dalam hal keagamaan. Sukarno menegaskan jika beragama Hindu jangan jadi orang India berbudaya India, beragama Islam jangan jadi orang Arab berbudaya Arab dan beragama Kristen jangan jadi orang Yahudi berbudaya Yahudi, tetapi harus tetap menjadi orang Indonesia yang berbudaya Kristen Terhadap Kelestarian Kebudayaan Pandangan Kristen tentang kebudayaan sangat beragam, seperti halnya yang dipaparkan oleh Niebuhr, di mana terdapat lima tipologi pendekatan orang kristen terhadap kebudayaan, yaitu 1 Christ Againts Culture, menganggap bahwa pada dasarnya kebudayaan manusia adalah buruk, penuh dosa dan jahat sehingga bertentangan dengan iman kristen, 2 Christ of Culture, melihat bahwa pada dasarnya kebudayaan adalah baik dan dapat menemukan Kristus sebagai pahlawan dari sejarah kebudayaan, nilai dan kehidupan budaya mereka, 3 Chirst Above Culture, berpandangan bahwa sebagian kebudayaan pada dasarnya adalah baik sehingga dapat disintesakan dengan iman kristen, 4 Christ and Culture in Paradox, beranggapan bahwa kebudayaan itu buruk, penuh dosa dan jahat sehingga orang kristen berada pada ketaatan yang bertentangan antara iman kristen dan kebudayaan, 5 Christ, Transformer of Culture, menganggap bahwa pada dasarnya kebudayaan adalah baik, namun karena manusia jatuh dalam dosa, maka kebudayaan perlu ditebus, dikuduskan, direstorasi agar dapat diubah untuk kemuliaan secara sederhana, Nommensen berkaitan dengan pandangannya terhadap budaya atau adat, ia mengklasifikasikannya ke dalam tiga kategori, yaitu 1 Adat yang netral; 2 Adat yang bertentangan dengan Injil; dan 3 Adat yang sesuai dengan Injil. Hal ini berarti bahwa ada adat atau budaya yang berlawanan dengan iman kristen dan ada budaya “Https// BBC. H. R. Niebuhr, Kristus Dan Kebudayaan Jakarta Petra Jaya, 1995. 44-49 Sagala, Apakah Benar Adat Batak Bertentangan Dengan Injil? Makalah Seminar Sehari “Adat Batak Dan Injil.” 71 yang tidak bertentangan dengan iman kristen. Karena kejatuhan manusia ke dalam dosa Roma 323, segala sesuatu yang dilakukan oleh manusia atau kecenderungan manusia adalah berbuat kejahatan semata-mata kejadian 65. Bagaimana untuk dapat menilai suatu budaya berlawanan atau tidak dengan iman kristen dibutuhkan perspektif atau pandangan etika teologis, dalam hal ini tentunya teologi kristen. Bagaimana pandangan etika kristen terhadap suatu tanggung jawab kelestarian kebudayaan atau kebudayaan yang ada di Indonesia, yaitu kebudayaan nusantara. Perspektif Etika Teologi Terhadap Tanggung Jawab Kelestarian Kebudayaan Nusantara Tanggung jawab kelestarian kebudayaan adalah tanggung jawab bersama, termasuk umat kristiani sebagai warga negara. Di mana gereja hadir di dalam masyarakat multi-kultur majemuk, pluralis. Bagaimana gereja harus bersikap terhadap kebudayaan akan sangat berdampak pada kelangsungan atau kelestarian budaya nusantara. Bagaimana dalam melaksanakan iman kristianinya sekaligus sebagai warga negara melaksanakan kebudayaannya tidak bertentangan paradoks. Langkah apa saja yang gereja perlu ambil agar tetap bisa eksis dalam budaya-budaya lokal yang berbhinneka dan terus berubah tanpa merusak atau menghancurkan budaya-budaya itu, tetapi pada saat yang sama membawa pembaharuan dan perubahan sehingga Injil dapat diberitakan dan dilaksanakan dapat meyelamatkan baik orang Yahudi maupun orang Yunani Roma 1 16 dengan konteks budayanya. Di sinilah peran etika teologis untuk dapat melihat dan menempatkan diri pada batasan-batasan yang jelas antara Injil dan Kebudayaan itu sendiri. Menurut Lukito, tidak ada injil yang bebas dari kebudayaan. Menurutnya, yang terpenting adalah bukan bagaimana injil menaklukkan kebudayaan tetapi bagaimana hubungan antara injil dan kebudayaan itu. Ia menyatakan bahwa hubungan Injil dan kebudayaan itu sama halnya hubungan antara teks dan konteks. Injil merupakan teks yang harus ditafsirkan artinya, sementara kebudayaan juga merupakan konteks yang memerlukan suatu gereja menanamkan Injil dalam budaya masyarakat, oleh umat Katholik dikenal dengan istilah inkulturasi, yakni menurut Soenarjo 1977 adalah suatu usaha masuk dalam kultur suatu alam budaya atau membudaya agar kehidupan kristiani tidak merupakan gejala asing di tengah alam budaya itu. Kaum Protestan lebih menyukai istilah kontekstualisasi, yakni upaya untuk memahami iman kristen dipandang dari suatu konteks tertentu, baik itu budaya tradisional maupun budaya modern Bevans, 2002. Kedua istilah ini memiliki tujuan yang sama, yaitu usaha untuk menginkarnasikan Injil ke dalam budaya masyarakat di mana Injil itu diberitakan sehingga Injil dalam seluruh ikutannya, baik bahasa, berlambang, berdoa, berpikir, berbicara, berdiam, bergaya, berseni, berpuisi, berteologi, berperasaan, dst. Lukito, The Undending Dialogue of Gospel and Culture” Dalam Struging in Hope A Tribute the Rev. Dr. Eka Darmaputra, ed. Ferdinand Suleeman, Adji Ageng Sutama, and A Rajendra Jakarta BPK Gunung Mulia, 2011. 227 Ebenhaizer Nuban Timo, “Gereja Dan Budaya-Budaya,” Penuntun Jurnal Teologi dan Gereja 14, no. 25 2013 57–70. Ibid. 72 menjelma dalam wajah budaya tersebut. Lebih lanjut Timo menekankan perihal pentingnya dua aksen dalam kontekstualisasi dan inkulturasi, yaitu 1 sungguh-sungguh mempertahankan nilai-nilai budaya dan 2 sungguh-sungguh mengkritisi nilai-nilai itu. Pengintegrasian Injil ke dalam suatu budaya demi kelestarian suatu budaya tetap harus menjaga fungsi kritis dari Injil terhadap budaya itu, demi mengembangkan atau mentransformasikan budaya tersebut. Kontekstualisasi dan inkulturasi tidak hanya dilakukan kepada budaya mayoritas mendominasi masyarakat, tetapi juga terhadap budaya masyarakat terpinggirkan minoritas. Gereja harus bekerja sedemikian rupa agar Injil dapat menggarami dan menerangi keduanya, agar kelompok marginal tidak merasa risih, minder bahkan malu mengenai budayanya. Serentak dengan itu adalah agar dapat bekerja bersama-sama untuk membebaskan budaya masing-masing dari kekuatan-kekuatan demonis yang menciderai dan menindas manusia. Dengan kata lain, kontekstualisasi itu terdiri dari teks Injil dan konteks budaya di mana, Injil teks harus mempengaruhi, menggarami budaya konteks bukan sebaliknya. Kesimpulan Kebudayaan Nusantara merupakan warisan leluhur yang adiluhung. Hadirnya agama, termasuk kekristenan menjadikan budaya berada pada hal yang dianggap mistis dan berbau paganisme sehingga harus dihindari. Ambiguitas dan disposisi gereja dalam memandang budaya Nusantara menempatkannya berada pada pusaran krisis. Kelestariannya terancam punah. Diperlukan posisi sikap yang jelas dari peran etika teologi dalam pandangan dan tanggung jawabnya terhadap kelestarian budaya Nusantara ke depan. Berdasarkan hal tersebut, maka kesimpulan kajian dan hasil pembahasan tersebut di atas adalah sebagai berikut pertama peran etika teologi dalam memandang budaya Nusantara sebagai mandat kebudayaan dari awal penciptaan. Di mana kebudayaan ada sejak penciptaan manusia, tetapi kebudayaan dan penciptaan tidaklah sama karena penciptaan adalah karya Allah yang bersumber pada Pribadi-Nya, sedangkan kebudayaan adalah hasil karya berpikir manusia yang merupakan hasil ciptaan Allah. Hal ini membuktikan bahwa Alkitab itu melampaui setiap kebudayaan manusia, dalam hal ini termasuk kebudayaan Nusantara. Sehingga Alkitab harus menjadi parameter utama dalam memandang kebudayaan manusia. Alkitab menjadi dasar etika teologi dalam memandang budaya Nusantara. Manusia diciptakan Allah itu serupa dan segambar dengan-Nya, oleh karena seharusnya dalam berkebudayaan adalah bertujuan untuk menjalankan rencana Allah yang sudah ditetapkan-Nya dari semula. Tujuan penciptaan adalah untuk menggambarkan kemuliaan Allah, sehingga yang harus menjadi tujuan kebudayaan manusia adalah untuk menyatakan kemuliaan Allah juga, bukan malah sebagai wujud pelestarian dosa yang melawan wahyu kebenaran Allah. Sehingga sebagai standart moral yang digunakan dalam memandang suatu kebudayaan manusia adalah apakah bertentangan dengan kehendak Allah dalam Alkitab atau tidak. Kedua, peran etika teologi Ibid. 73 dalam tanggung jawab kelestarian budaya Nusantara. Kebudayaan Nusantara diperhadapkan dengan modernitas dan akidah agama. Budaya dianggap usang kuno, jadul, ketinggalan zaman oleh kaum modernisme, sedangkan oleh kaum puritan budaya dianggap bertentangan dengan akidah agama sehingga harus ditinggalkan. Dua pandangan kelompok ini mengancam kelestarian budaya Nusantara ke depan. Sehingga diperlukan pandangan etika teologis sebagai tanggung jawab warga gereja, sebagai warga bangsa dalam melestarikan budaya Nusantara. Pandangan kristen terhadap penerimaan akan kebudayaan sangat beragam. Ada yang menolak, menerima sebagian, menerima seutuhnya. Di mana semua disertai dengan alasan yang melatar belakangi dari setiap pandangan tersebut. Pelestarian budaya Nusantara merupakan tanggung jawab warga bangsa, termasuk dalam hal ini warga gereja tetapi dalam pelaksanaannya juga harus memperhatikan akidah iman kristiani. Di sinilah peran etika teologis untuk dapat melihat dan menempatkan diri pada batasan-batasan yang jelas antara Injil dan Kebudayaan. Dalam tanggung jawabnya melestarikan budaya Nusantara, maka etika teologi berperan terhadap adanya inkulturasi dan kontekstualisasi Injil dan Budaya. Injil harus dapat menerangi kebudayaan, sehingga dalam kontekstualisasi, konteks budaya harus diterangi oleh teks Alkitab. Injil teks lebih tinggi dari budaya konteks, sehingga budaya Nusantara yang netral dan tidak bertentangan dengan Injil harus dapat dilestarikan. Ucapan Terima Kasih Penulis dan tim penulis menyampaikan terima kasih kepada Ketua STT REAL Batam yang memberikan dukungan atas penelitian dan menghasilkan suatu tulisan ini. Rujukan Chambers, John, and Haskarlianus Pasang. Cara Pandang Kristen. Bogor Langham, 2015. De, Kuiper Arie. Missiologia. Jakarta BPK Gunung Mulia, 2009. Frame, John M. “Kekristenan Dan Kebudayaan Bagian 1.” Veritas Jurnal Teologi dan Pelayanan 6, no. 1 2005 1–27. Koentjaraningrat. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta Rineka Cipta, 2009. Lehman, Paul L. Ethics in a Christian Context. New York Harper & Row Publisher, 1963. Lukito, The Undending Dialogue of Gospel and Culture” Dalam Struging in Hope A Tribute the Rev. Dr. Eka Darmaputra. Edited by Ferdinand Suleeman, Adji Ageng Sutama, and A Rajendra. Jakarta BPK Gunung Mulia, 2011. Netland, Harold. Encountering Religious Pluralism The Challenge to Christian Faith Mission. Downers Grove IVP Acadamic, 2001. Niebuhr, H. R. Kristus Dan Kebudayaan. Jakarta Petra Jaya, 1995. Sagala, Mangapul. Apakah Benar Adat Batak Bertentangan Dengan Injil? Makalah Seminar Sehari “Adat Batak Dan Injil.” Jakarta Yayasan Gema Kyriasa, 2004. Sarinah. Ilmu Budaya Dasar. Sleman CV Budi Utama, 2019. Sihombing, Lotnatigor. “Tanggung Jawab Gereja Dalam Mewujudnyatakan Karya Kristus Di Sektor Kebudayaan.” Amanat Agung 7, no. 2 2011 257–288. 74 Tanuwidjaja, Sundoro, and Samuel Udau. “Iman Kristen Dan Kebudayaan.” Jurnal Teologi Kontekstual Indonesia 1, no. 1 2020 1–14. Tari, Ezra. “Bagaimana Kita Bisa Melawan Sinkritisme Di Dalam Misi Kita?” 2012 1–15. Timo, Ebenhaizer Nuban. “Gereja Dan Budaya-Budaya.” Penuntun Jurnal Teologi dan Gereja 14, no. 25 2013 57–70. Tomatala, Yakub. Antropologi; Dasar Pendekatan Pelayanan Lintas Budaya. Jakarta YT Leadership Foundation, 2007. Tumanan, Yohanis Luni. “Ibadah Kontemporer Sebuah Analisis Reflektif Terhadap Lahirnya Budaya Populer Dalam Gereja Masa Kini.” Jurnal Jaffray 13, no. 1 2015 35. Verkuyl, Johannes. Etika Kristen Dan Kebudayaan. 2nd ed. Jakarta Badan Penerbit Kristen, 1996. Zaluchu, Sonny Eli. “Strategi Penelitian Kualitatif Dan Kuantitatif Di Dalam Penelitian Agama.” Evangelikal 4, no. 1 2020 28–38. “Https// BBC. Tolop MarbunRitual manulangi salah satu saran memberikan penghormatan tertinggi kepada orang tua sesuai dengan ajaran leluhur orang Batak. Karena ritual manulangi merupakan ajaran leluhur, ada orang yang merasa bahawa ritual manulangi sudah tidak relavan karena menghormati orang tua bisa berbagai cara. Ada juga memiliki sikap sekatarianisme yang menganggap bahwa semua adat istiadat Batak Toba merupakan dosa dan bertentangan dengan Alkitab. Tujuan dari penelitian ini memberikan nilai-nilai teologis dalam ritual manulangi sehingga orang Batak Toba masa kini bisa tetap mempertahan ritual manulangi dengan nilai-nilai kekristenan. Metode yang digunakan penelitian kualitatif dengan model studi literatur. Data yang diperoleh melalui literatur yang berkaitan dengan judul, kemudian dianalisan untuk menghasilkan kerangka berpikir. Selanjutnya penulis melakukan kajian teologis dari hasil temuan data. Rituali manulangi memenuhi hukum yang utama dan terutama yaitu, kasih kepada Allah dan kasih kepada manusia. Kasih kepada Allah melalui ritual menulangi sebagai saran memuliakan Allah dan menghormati orang tua sebagi ketaatan kepada Allah. Kasih kepada sesama manusia melalui ritual manulangi sebagai saran menghormati orang tua, saling memberkati, restorasi hubungan keluarga dan sarana tolong TanuwidjajaSamuel UdauCulture is created by God, as it is the essence of Christian faith, in order to reflects His values and glory. Culture can not be separated from the existence of God relate to its origin, process and ultimate objective. However, culture is never be able separated from humanity's oldest struggle, sin. The existence of sin also takes part in various area in the development of human culture, there for brings those who insult and assume that God is not the highest and must be glorified, even rejecting the existence of God. The teachings of the Christian faith explain the concept of redemption which finally enables the culture to recognize the existence of God as the highest being, and to reveal His glory. This paper expresses various Christian struggles in addressing the existence and development of human culture from the perspective of the Christian faith, and returning it to God's original position and purpose for humans. Kebudayaan berasal dari Allah dijalankan sesuai tata nilai dari Allah dan dan harus kembali kepada Allah, itulah esensi iman Kristen. Budaya tidak dapat dipisahkan dari keberadaan Allah, baik asal mulanya, prosesnya hingga kepada tujuan akhirnya. Walau demikian, kebudayaan tidak terlepas dari pergumulan tertua manusia, yaitu dosa. Keberadaan dosa juga mengambil andil dalam perkembangan kebudayaan manusia ke berbagai bidang, sehingga ada yang melecehkan dan mengganggap bahwa Allah bukanlah yang tertinggi dan harus dimuliakan, bahkan menolak keberadaan Allah. Ajaran iman Kristen memaparkan konsep penebusa yang akhirnya memampukan kebudayaan itu mengakui keberadaan Allah sebagai Pribadi yang tertinggi, dan menyatakan kemuliaan-Nya. Tulisan ini mengungkapkan berbagai pergumulan orang Kristen dalam menyikapi keberadaan maupun perkembangan kebudayaan manusia dari sudut pandang iman Kristen, dan mengembalikannya pada posisi maupun tujuan awal Allah bagi JohnTopik yang akan kita bahas adalah “Kekristenan dan Kebudayaan.” Topik ini akan dibagi menjadi lima bagian. Bagian pertama akan membahas “Apakah Kebudayaan itu?,” kemudian “Kristus dan Kebudayaan,” yang membahas tentang relasi Kristus dengan semua kebudayaan di dunia. Pada bagian ketiga, “Kristus dan Kebudayaan kita,” saya akan lebih mengkhususkan pada apa yang kita pelajari di kebudayaan Barat di mana manusia hidup. Bagian keempat adalah “Orang Kristen di dalam Kebudayaan Kita,” yaitu pembahasan yang berkaitan dengan manusia bagaimana seharusnya menanggapi kebudayaan di sekeliling kita? Bagaimana orang Kristen seharusnya berinteraksi dengan kebudayaan masa kini apakah kita harus lari darinya, memeranginya, membuat alternatif, atau apa? Bagian terakhir, “Kebudayaan di dalam Gereja,” membahas apa yang dapat diperbuat oleh gereja dengan kebudayaan di dalam pelayanannya dalam penginjilan, penggembalaan pada orang percaya, dan Religious Pluralism The Challenge to Christian Faith Mission. Downers Grove IVP AcadamicHarold NetlandApakah Benar Adat Batak Bertentangan Dengan Injil? Makalah Seminar SehariMangapul SagalaTanggung Jawab Gereja Dalam Mewujudnyatakan Karya Kristus Di Sektor KebudayaanLotnatigor SihombingEthics in a Christian ContextPaul L LehmanEtika Kristen Dan KebudayaanJohannes VerkuylJakarta BPK Gunung MuliaKuiper Arie DeMissiologia Pekerja adalah aset yang paling bernilai bagi sesebuah organisasi. Kejayaan sesebuah organisasi ataupun syarikat amat bergantung kepada barisan pekerja

Posted on 07/06/2020 In QnA Ditulis oleh Pdt. Yakub Tri Handoko Leave a comment Setiap orang merupakan produk kultural. Maksudnya, setiap orang berada dalam suatu budaya dan dibentuk oleh budaya itu. Tidak ada satupun yang benar-benar kebal terhadap pengaruh budaya, entah baik atau buruk. Dalam banyak hal pemikiran, perasaan, dan tindakan setiap orang pasti mencerminkan budayanya. Jadi, menghindari pengaruh budaya merupakan sebuah kemustahilan. Jika budaya memang menjadi sesuatu yang tidak terelakkan, lalu bagaimana orang Kristen seharusnya menyikapi budaya? Apakah kita terima saja segala sesuatu yang ada dalam budaya kita? Misalnya bolehkah orang Kristen memperingati 40 hari, 100 hari, setahun, dan 1000 hari setelah kematian anggota keluarga mereka? Bagaimana pula dengan menanam ari-ari di depan rumah atau melempar gigi yang tanggal ke genteng rumah atau melempar popok ke sungai, dsb? Untuk menjawab pertanyaan di atas secara memadai, kita perlu memahami perspektif Kristiani tentang kebudayaan secara umum terlebih dahulu. Berdasarkan perspektif yang umum tadi kita baru akan melihat kasus per kasus. Relasi antara kekristenan dan kebudayaan merupakan salah satu isu yang sudah lama dibicarakan oleh para pemikir Kristen. Respons mereka cukup beragam. Semua respons itu dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori. Pertama, sikap negatif. Mereka menganggap kebudayaan dicemari oleh dosa. Merengkuh budaya berarti merengkuhnya bersama-sama dengan semua kecemaran di dalamnya. Kebudayaan adalah musuh iman. Pandangan ini mendorong orang-orang yang mempercayainya sebisa mungkin menjauhi budaya. Mereka mengisolasi diri dari dunia. Sikap di atas jelas jelas keliru. Mengisolasi diri dari dunia adalah tindakan yang mustahil dan tidak Alkitabiah. Mustahil, karena kita memang tidak mungkin lepas dari budaya. Contoh yang paling sederhana adalah cara berpakaian. Pakaian adalah produk budaya. Binatang tidak berpakaian dan tidak bisa menciptakan pakaian, karena mereka tidak memiliki kemampuan untuk berbudaya. Model pakaian yang kita kenakan setiap hari juga merupakan produk budaya. Kita mengikuti model tertentu atau nyaman mengenakan jenis kain tertentu. Selain mustahil, sikap di atas juga tidak Alkitabiah. Tuhan Yesus mengutus orang-orang Kristen ke dalam dunia Yoh. 1718. Dia tidak meminta kepada Bapa-Nya agar orang-orang Kristen diambil dari dunia Yoh. 1715. Tugas kita memang di dunia. Ini berarti bahwa dalam taraf tertentu kita memang perlu bersentuhan dengan budaya. Bentuk lain dari sikap negatif terhadap budaya adalah konfrontasional. Beberapa orang Kristen gencar memerangi budaya. Yang dilakukan adalah menunjukkan kebobrokan budaya yang ada. Beberapa bahkanb menggunakan kekuatan tertentu politik, senjata, ekonomi, dsb untuk menegakkan sebuah budaya Kristen yang akan menggantikan budaya setempat. Walaupun sekilas terlihat mulia, usaha ini perlu dikaji ulang dengan seksama. Memerangi budaya seringkali berujung pada memerangi orang-orang yang ada di dalamnya. Tanpa disadari target serangan telah bergeser. Orang-orang Kristen akhirnya menghindari interaksi dengan orang-orang dunia. Ini jelas sangat disayangkan. Di samping itu, Alkitab tidak pernah mengajarkan tentang kebudayaan Kristen. Tidak ada yang disebut “budaya Kristen.” Tugas kita hanyalah merembeskan nilai-nilai kerajaan Allah keadilan, belas kasihan, kedamaian, sukacita, dsb di tengah-tengah dunia. Kemasan yang dimunculkan bisa bermacam-macam, tergantung budaya setempat. Kedua, sikap akomodatif. Sebagian orang Kristen memilih untuk merengkuh budaya di sekitar mereka. Mereka terlihat kontekstual sesuai budaya yang ada. Wujud dari sikap akomodatif ini cukup beragam. Yang penting, secara sekilas mereka tidak berbeda dengan orang-orang dunia. Ada yang mengambil seluruhnya, termasuk praktek hidup yang menyimpang dari Alkitab. Ada yang menjauhi tindakan-tindakan yang “jelas-jelas berdosa,” tetapi tanpa sadar mengadopsi cara berpikir dunia yang materialisme, konsumerisme dan hedonisme. Alkitab jelas menentang sikap ini. Paulus menasihati jemaat di Roma agar jangan menjadi serupa dengan dunia Rm. 122a. Ini bukan hanya masalah praktek hidup tindakan, tetapi juga cara berpikir. Karena itu Paulus juga menambahkan “tetapi berubahlah oleh pembaruan akal budimu” Rm. 122b. Tuhan Yesus mengingatkan kita untuk tidak kehilangan rasa asin kita di tengah dunia Mat. 513. Jangan sampai kita tidak berbeda dengan dunia. Ketiga, sikap realistis - transformatif. Sikap ini ditandai dengan kesadaran bahwa kita akan selalu berada di dalam budaya. Tidak ada cara untuk menghindarinya. Kita realistis saja. Namun, pada saat yang bersamaan kita membawa perubahan dari dalam. Kita tidak berperang dari luar secara konfrontatif. Kita bernegosiasi dan bergerilya dari dalam. Kebenaran tidak dikompromikan, tetapi juga tidak dipaksakan. Ilustrasi yang tepat mungkin adalah ragi Mat. 1333. Bukankah ragi tidak akan berguna jika tidak dicampur dengan adonan? Demikian pula dengan orang-orang Kristen yang tidak mau masuk ke tengah-tengah dunia dan merengkuh orang-orang yang ada di dalamnya. Sama seperti ragi, peranan kita mungkin tidak langsung terlihat dari luar. Seperti ragi, kita membaur dengan yang lain tanpa menghilangkan jati diri kita. Sama seperti ragi, kita membawa perubahan pada adonan secara keseluruhan. Seperti ragi, kita membuat adonan itu menjadi lebih enak untuk dinikmati. Sikap di atas adalah yang paling tepat. Yesus Kristus bukan hanya sahabat orang berdosa, tetapi juga penyelamat orang berdosa. Dia tidak menunggu untuk ditemui. Dia datang dan mencari Luk. 1910. Gereja juga perlu melakukan hal yang sama. Dengan pemahaman seperti di atas, marilah kita mencoba memberikan solusi praktis atas persoalan yang kita telah singgung di depan Bolehkah orang Kristen mengikuti tradisi-tradisi tertentu yang terkesan janggal dari perspektif Kristiani? Untuk menjawab isu ini dengan tepat dan bijak, kita perlu mempertimbangkan tiga hal pemaknaan, batu sandungan, dan kegunaan. Yang pertama adalah pemaknaan. Hampir setiap praktek kultural dilandasi dengan pemikiran tertentu. Apa yang dilakukan merupakan ekspresi dari sebuah pemikiran. Walaupun apa yang dilakukan pada dirinya sendiri mungkin tidak salah, tetapi pemikiran di dalamnya tetap bisa salah. Kita perlu mengevaluasi praktek maupun maknanya. Dalam banyak hal, keduanya tidak terpisahkan. Dalam kasus peringatan 40 hari kematian, misalnya, kita perlu memahami pemikiran di baliknya. Mengapa dipilih angka 40? Kebiasaan ini bisa bersumber dari banyak tradisi. Salah satunya yang paling memungkinkan adalah ajaran Kejawen. Penganut ajaran ini percaya bahwa arwah orang mati tidak langsung pergi ke alam baka. Roh itu masih berkeliaran di rumah selama 40 hari. Sebagian orang Kristen mencoba menambahkan dukungan Alkitab terhadap pemikiran di atas. Mereka berpendapat bahwa setelah kematian-Nya, Yesus Kristus juga tidak langsung naik ke sorga. Dia menampakkan diri kepada murid-murid-Nya selama 40 hari. Pemaknaan seperti ini tidak Alkitabiah. Roh orang yang mati tidak bergentangan di dunia. Mereka langsung menuju ke sorga atau neraka. Catatan Alkitab tentang hal ini cukup melimpah dan sangat konsisten. Penyamun di sisi Tuhan Yesus dijanjikan akan berada di firdaus pada hari itu juga Luk. 2343. Istilah “firdaus” di sini merujuk pada sorga 2Kor. 121-6; Why. 27. Paulus menyamakan “mati” dengan “diam bersama dengan Kristus” Flp. 121-24. Di tempat lain dia mengajarkan bahwa kalau kita nanti mati, “kita memiliki kediaman dari Allah” terjemahan hurufiah, 2Kor. 51. Menjelang kematiannya Stefanus berkata “Ya Tuhan Yesus, terimalah rohku” Kis. 759. Bagaimana dengan penampakan Yesus Kristus selama 40 hari? Catatan Alkitab ini tidak bisa dijadikan pembenaran bagi peringatan 40 hari. Kesamaan yang ada bersifat superfisial hanya di permukaan, misalnya kematian dan 40 hari. Perbedaan yang ada justru lebih fundamental. Selama 40 hari Yesus Kristus menampakkan diri dalam bentuk tubuh kemuliaan Luk. 2439. Bukan hanya jiwa atau roh-Nya saja. Lagipula, selama 40 hari Yesus Kristus menuntaskan misi khusus meyakinkan banyak orang tentang kebangkitan-Nya dan memberitakan kerajaan Allah Kis. 13b. Dengan kata lain, apa yang dilakukan oleh Yesus Kristus merupakan tindakan yang unik. Hanya berlaku untuk dan bisa dilakukan oleh Dia saja. Yang kedua adalah batu sandungan. Etika Kristen bukan hanya berbicara tentang benar atau salah. Walaupun suatu tindakan benar, hal itu belum tentu boleh dilakukan, jika itu menimbulkan batu sandungan bagi orang lain 1Kor. 813; 1029-32. Prinsip di atas seharusnya dilakukan dua arah. Maksudnya, kita harus memperhatikan hati nurani orang Kristen maupun non-Kristen. Jangan sampai tindakan kita menimbulkan syak di hati mereka. Nah, dalam kasus peringatan 40 hari setelah kematian, apakah orang-orang luar akan merasa syak apabila kita tidak merayakannya? Jika tidak, mengapa kita perlu bersusah-payah mengadakannya? Toh mereka juga tidak akan menganggap hal itu terlalu serius. Jika iya, mengapa mereka merasa syak? Apakah karena kita dianggap kurang menghargai almarhumah? Jika ini yang dipikirkan mereka, kita bisa mempertimbangkannya. Ada solusi untuk keberatan seperti ini. Sebagai contoh, kita menjadi orang yang paling rajin merawat almarhumah selama beliau masih hidup dulu atau kita menjadi orang yang paling sibuk mengurusi persemayaman dan penguburan beliau. Apabila orang-orang lain sudah melihat kasih dan pengurbanan kita yang besar, mereka tidak akan mempersoalkan pada waktu kita tidak memperingati 40 hari atau 1000 hari setelah kematian. Opsi lain yang dapat ditempuh adalah tetap mengadakan peringatan tetapi tidak dibatasi oleh hari-hari tertentu. Kita dapat mengadakan pertemuan kapan saja untuk mengenang dan belajar sesuatu dari kehidupan beliau. Kita juga dapat memaksimalkan momen itu untuk mengajak banyak orang untuk memikirkan kehidupan dan kematian secara serius serta memberitakan Yesus Kristus sebagai solusi bagi persoalan fundamental manusia penderitaan, kejahatan dan kematian dan bagi pergumulan eksistensial manusia penghargaan, pengakuan, kasih sayang, pengampunan, dsb. Yang ketiga adalah kegunaan. Paulus mengajarkan bahwa sesuatu yang diperbolehkan bukan berarti hal itu berguna 1Kor. 612. Sebagai orang-orang percaya kita perlu mengupayakan hal-hal yang membawa faedah bagi orang lain 1Kor. 1023. Berfaedah di sini dalam arti membangun. Apa saja yang kita lakukan jangan cuma didasarkan pada boleh atau tidak boleh. Prinsip ini sangat relevan juga dengan isu tradisi yang sedang kita bahas. Misalnya, jika kita hanya mengadakan peringatan 40 atau 1000 hari seperti orang-orang lain pada umumnya, manfaat apa yang diperoleh oleh orang lain? Tentu saja tidak ada. Mereka justru mungkin akan menangkap kesan yang keliru tentang kekristenan. Kita dianggap agama yang sinkretis mencampuradukkan beberapa keyakinan sekaligus. Dengan demikian kesaksian Kristiani malah bisa dipertaruhkan. Uraian di atas memang lebih banyak dikaitkan dengan tradisi peringatan harihari tertentu setelah kematian. Namun, prinsip yang ada dapat diterapkan pada berbagai tradisi lainnya. Kita perlu mengevaluasi apakah tradisi-tradisi tersebut benar atau salah. Setelah itu kita memikirkan apakah tradisi-tradisi itu dapat menjadi batu sandungan untuk orang lain. Terakhir, kita menanyakan apakah tradisi-tradisi itu membawa faedah bagi orang lain. Soli Deo Gloria.

\n sikap kristen terhadap kebudayaan yang tepat adalah
Sikapyang tepat terhadap perbedaan agama dan budaya, yaitu? memusuhi; menghormati; meremehkan; menyamakan; Kunci jawabannya adalah: B. menyamakan. Dilansir dari Encyclopedia Britannica, sikap yang tepat terhadap perbedaan agama dan budaya, yaitu menyamakan. Navigasi Tulisan.
Kaitan Iman Kristen dan Budaya Menurut AlkitabCiri-ciri Kebudayaan1. Historis2. Geografis3. Perwujudan Nilai-nilai TertentuHubungan Antara Iman Kristen dengan Budaya Menyimpang1. Antagois atau Oposisi2. Dominasi atau Sintesis3. Akomodasi atau PersetujuanKaitan Iman Kristen dan Budaya Menurut – Hubungan iman Kristen dengan kebudayaan. Kebudayaan adalah salah satu hasil cipta, rasa, dan karsa manusia yang ada di dunia. Kemampuan utnuk berkarya bisa dilakukan semua juga menjadi sikap yagn hakiki dan hanya terjadi pada manusia yang telah diciptakan menurut gambar dan rupa Allah, serta mengetahui prinsip gereja. Maka dari itu sejak penciptaannya, manusia telah memberi amanat manusia dalam dosa telah menyebabkan mereka menghasilkan kebudayaan yang menyimpang dari rencana Allah. Kebudayaan ini juga hanya diperuntukkan untuk kepentingan manusia sendiri sesuai hukum kasih dalam terus berusaha mengisi keadaan kosong dalam hai dengan mengaplikasikan kebudayaan. Namun, kebudayaan tak mampu memulihkan keadaan manusia yang berdosa. Pemulihan hanya bisa dilakukan dengan menebus dosa salah satunya melalui doa pengakuan dosa menjadi salah satu kaitan hubungan antara iman agama Kristen dengan kebudayaan. Di bawah ini ada beberapa penjelasan lebih tentang kaitan antara iman umat Kristiani dengan budaya yang ada di KebudayaanSebelum masuk ke pembahasan inti, kita harus mengetahui lebih dulu mengenai ciri-ciri kebudayaan. Simak ulasannya di bawah HistorisManusia membuat sejarah yang bisa bergerak secara dinamis dan selalu melaju serta diwariskan turun temurun untuk tetap dilestariakn dan tak GeografisKebudayaan tak sama, ada berbagai ciri yagn bisa berkembang dengan cepat maupun lambat, bahkan ada yang berhenti perkembangannya. Kebudayaan meluas dan bsia mencakup setiap wilayah dengan keragaman ras, suku, budaya, yang mencakup di berbagai Perwujudan Nilai-nilai TertentuKebudayaan berusaha melampaui keterbatasan manusia. Maka dengan adanya kebudayaan itu bisa tersandung dengan nilai yang berbeda serta harus dilihat bagian nilai mana yang harus dilihat sebisa mungkin untuk Antara Iman Kristen dengan Budaya MenyimpangBerikut adalah sikap iman Kristen terhadap kebudayaan, di antaranya adalah sebagai Antagois atau OposisiSikap antagonis atau opisisi dilakukan terhadap kebudayaan adalah sikap yang memperlihatkan adanya pertentangan yang tak bisa didamaikan antara Kristen dan mengakibatkan adanya sikap seolah menolak dan menyingkirkan kebudayaan pada semuanya. Gereja dan umat berimah harus berkata tidak atau menolak ungkapan kebudayaan tertentu yang berisi penghinaan terhadap tuhan, menyembah berhala, dan Dominasi atau SintesisMeski kejatuhan yang terjadi pada manusia ke dalam dosa akan membuat citra ilahi menurun, dari itu sebenarnya manusia tak jatuh total. Seabb, manusia masih berkehendak bebas dan mandiri. Ini menunjukkan meski ada kebudayaan yang tak sesuai dengan Kristen bisa melakukan akomodasi penuh dan akan menjadikan kebudayaan tersebut sebagai bagian dari iman, pada kenyataannya kebudayaan yang disempurnakan dan disucikanoleh sakramen yang menjadi anugerah Akomodasi atau PersetujuanSikap akomodasi atau persetujuan menjadi sikap yang berkebalikan dari antagonis atau oposisi yang akan menyesuaikan diri dengan kebudayaan yang memang sudah ada. Maka dari itu mulailah terjadi sinkritisme, yang menjadi salah saut iskap utnuk membawa orang percaya berpikir dan memandang bagaimana kebudayaan, cara hidup, berkomunikasi, atau melakukan hubungan dengan orang lain yang membuat seolah-olah semua agama KataSampai di sini dulu pembahasan mengenai hubungan iman agama kristen dengan kebudayaan. Semoga bisa menjelaskan mengenai pandangan iman Kristen terhadap kebudayaan di masa Jawab Ayah dalam Keluarga KristenAyat Emas Alkitab Tentang MakananDasar-dasar dari Iman Agama Katolik
1 Dapat menguasai IPTEK. 2) Terjadi Akulturasi budaya sehingga tidak mengalami kebosanan budaya karena masyarakat selalu menginginkan hal-hal yang baru. 3) Penggunaan bahasa-bahasa lain dalam komunikasi dalam meningkatkan wawasan ilmu pengetahuan. 4) Munculnya ide-ide baru ang dapat membantu kemajuan IPTEK.
1 Korintus 921; Galatia 21-5. Kebudayaan adalah aspek penting dalam kehidupan manusia. Identitas diri dan kebiasaan hidup kita terbentuk salah satunya melalui kebudayaan. Itulah sebabnya manusia pada dasarnya tidak bisa lepas dari kebudayaa. Kali ini kita akan membicarakan mengenai pandangan Kristen tentang kebudayaan. Menurut Kevin J. Vanhoozer, seorang ahli dalam bidang teologi dari Universitas Edinburgh, Kebudayaan adalah ekspresi kongkrit dari apa yang manusia pikirkan dan rasakan. Jika kebudayaan dimengerti secara demikian, sebagai ekspresi dari apa yang kita pikirkan dan rasakan yang dinyatakan dalam bentuk-bentuk konkrit, maka semua karya manusia pada dasarnya merupakan sebuah kebudayaan. Mengapa demikian? Sebab segala hal yang kita lakukan semuanya didasarkan atas adanya dorongan pikiran dan perasaan kita. Saat kita merasa senang, kita kemudian menyanyi atau membuat nyanyian, karena ini adalah ekspresi dari rasa riang yang kita alami, maka membuat sebuah lagu termasuk sebuah kebudayaan; saat kita melihat sebuah realitas yang menyedihkan, misalnya saja bagaimana dalam gereja ada banyak orang yang kurang peduli dengan kitab suci, kemudian kita membuat sebuah program untuk mendorong jemaat membaca kitab suci, inipun merupakan bagian dari sebuah kebudayaan, dimana kita sedang membangun budaya membaca kitab suci. Jadi, kebudayaan adalah tema yang sangat luas dan kompleks, dan kita tidak mungkin menyoroti aspek kebudayaan yang seperti itu sekarang. Itulah sebabnya, saya ingin menyoroti salah satu aspek saja dari kebudayaan yakni kebudayaan yang dipahami sebagai tata cara hidup bermasyarakat yang berlaku dalam satu kelompok atau suku tertentu, dimana tata cara hidup bermasyarakat tersebut merupakan identitas dari kelompok tersebut. Sebagai contoh, kita semua dibesarkan dengan tata cara hidup yang berbeda dalam suku kita. Ada yang dibesarkan dengan sebuah tata cara hidup, kalau bertamu di rumah orang lain tidak boleh menghabiskan semua makanan yang disuguhkan sebab itu dipandang tidak sopan; sebagian orang yang lain dibesarkan dengan sebuah tata cara kehidupan, bahwa saat bertamu harus menghabiskan semua makanan yang ditawarkan, itu yang namanya sopan. Sebagian suku tertentu memandang saat seseorang menikah harus tinggal dengan orang tuanya, sementara suku yang lain memandang saat seorang menikah harus lepas dari orang tua. Dalam pengertian inilah kita akan membicarakan mengenai kebudayaan. Kebudayaan dalam konteks adat istiadat yang menjadi ciri atau identitas suku kita. Pergumulan sebuah suku untuk menjaga adat istiadat yang menjadi identitas diri mereka juga pernah dialami dari orang-orang Yahudi yang hidup dizaman Yesus dan Paulus. Bagi orang yahudi ada setidaknya ada tiga adat istiadat yang menjadi identitas orang Yahudi, yang tidak boleh ditinggalkan yakni yakni sunat, sabat dan aturan makan. Orang-orang yahudi diajari untuk selalu menyunatkan anak-anak mereka, bagi mereka sunat merupakan tanda perjanjian antara Allah dan mereka sebagai umat Allah. Selain itu hukum sabat, dimana orang-orang Yahudi tidak bekerja pada hari yang ketujuh, juga merupakan bagian dari identitas keyahudian mereka yang tidak boleh diabaikan oleh orang yang lahir dalam keluarga Yahudi. Dan yang terakhir, mereka pun dibesarkan dengan sebuah tradisi untuk tidak boleh makan bersama-sama dengan orang bukan Yahudi. Larangan makan ini adalah bentuk kongkrit dari larangan untuk bergaul dengan orang bukan Yahudi. Bagi orang-orang Yahudi, tiga hukum ini adalah segala-galanya. Bagi mereka tiga hukum identitas ini adalah bersifat mutlak, tidak boleh dilanggar oleh orang yang menamakan dirinya Yahudi. Persoalan muncul saat bangsa Yunani-Romawi memberlakukan yang namanya hukum pembauran atau disebut juga dengan istilah hellenisasi; maka orang-orang Yahudi memberontak dan melawan hal tersebut. Di zaman itu pemerintah Yunani romawi menetapkan sebuah kebijakan bahwa didunia jajahan Yunani Romawi, mereka harus memiliki satu kebudayaan yang sama yakni hellenis. Untuk menerapkan kebijakan ini, maka pemerintah Yunani-Romawi, melarang hukum sunat, sabat dan aturan makan. Orang-orang Yahudi diminta untuk tidak hidup secara eksklusif, mereka dilarang menyunatkan anak-anak mereka, dilarang untuk melakukan sabat dan dilarang untuk cuma makan bersama dengan sesama Yahudi. Lalu apa yang terjadi, orang-orang Yahudi melawan kebijakan ini mati-matian. Dan munculkan kelompok-kelompok tertentu yang akhirnya melakukan kekerasan bagi orang-orang Yahudi yang mengikuti kebijakan pemerintah Yunani-Romawi. Mengapa bagi orang-orang Yahudi, adat istiadat atau hukum sunat, sabat, dan aturan makan ini begitu penting? Alasannya adalah sebab bagi mereka, adat istiadat mereka itu adalah kebenaran yang berlaku mutlak, itulah sebabnya bagi mereka ketiga hukum tersebut, adat istiadat tersebut adalah segala-galanya. Namun, bagi Yesus dan Paulus, apa yang dianggap mutlak oleh orang-orang Yahudi di zamannya, maka bagi Yesus dan Paulus tiga sabat, sunat dan aturan makan bukan segala-galanya, itu hanyalah sebuah kebudayaan atau tradisi. Dalam injil-injil kita membaca bahwa Yesus menolak untuk mentaati hukum sabat dengan cara yang sama seperti orang-orang Yahudi pada umumnya lakukan. Bagi Yesus hukum sabat diberikan bagi manusia, jadi hukum sabat tidak seharusnya memperbudak manusia. Itulah sebabnya Yesus tidak menyalahkan murid-murid-Nya saat mereka memetik gandum di hari sabat yang oleh orang-orang Yahudi di zamannya dianggap tidak boleh. Mengapa demikian sebab ajaran tentang sabat yang selama ini diajarkan oleh guru-guru Yahudi tidak lebih dari kebudayaan dan bukan esensi Firman Tuhan. Demikian juga dengan Paulus, ia adalah seorang Yahudi. Sebagai seorang Yahudi ia dibentuk dengan sebuah kebudayaan untuk tidak bergaul dengan orang bukan yahudi. Namun saat Tuhan memanggilnya untuk memberitakan injil pada orang bukan Yahudi, ia rela melawan kebudayaan yang selama ini dipeliharanya. Ini menunjukkan bahwa kebudayaan bagi Paulus bukan segala-galanya. Sebagai seorang Yahudi, Paulus pun dari kecil dibentuk dengan sebuah budaya bahwa yang namanya umat Tuhan, haruslah disunatkan. Namun saat ia berhadapan dengan sebuah kenyataan bahwa orang-orang yang tidak disunatkan dapat menjadi umat Allah saat percaya pada Yesus, ia rela meninggalkan kebudayaannya bahkan melawan orang-orang yang memaksakakan sunat pada Titus dalam Galatia 2. Kembali kita melihat, saat orang-orang Yahudi lain menjadikan sunat atau kebudayaan sunat sebagai segala-galanya, namun Paulus menolak hal tersebut, baginya kebudayaan bukan segala-galanya. Demikian juga saat di kota Anthiokhia, saat orang-orang Yahudi Kristen yang lain meninggalkan meja makan orang-orang bukan Yahudi, karena hal tersebut dapat membuat orang-orang Yahudi yang masih berpegang keras pada tradisi atau kebudayaan untuk tidak makan bersama orang bukan Yahudi, dapat menimbulkan kemarahan mereka, namun Paulus menolak untuk takut terhadap orang-orang Yahudi yang masih berpegang pada tradisinya. Ia melawan kebudayaan tersebut. Mengapa demikian? Sebab bagi Paulus kebudayaan bukan segala-galanya, saat kebudayaan melawan Kristus, itu harus dilawan. Jadi, baik Yesus maupun Paulus, melihat hal yang sama bahwa tradisi dan adat kebiasaan kita bukanlah segala-galanya. Kita tidak dapat dan tidak boleh menjadikan semua tradisi dan adat kebiasaan kita sebagai hal yang mutlak. Jika Kebudayaan bukan segala-galanya, lalu apa yang terutama dan segala-galanya? Maka rasul Palus menolong kita untuk mengerti apa yang segala-galanya bagi kita. Bagi Paulus yang segala-galanya adalah Tuhan. Dalam Filipi 3, Paulus mengatakan jika dibandingkan dengan Kristus, segala kebudayaan yang dulu ia banggakan tidaklah ada nilainya. Paulus mengatakan bahwa i ia adalah suku Yahudi asli; ii ia adalah orang Farisi; iii ia tidak bercacat dalam mentaati hukum Taurat. Meskipun demikian, semua kelebihan tersebut tidak membuatnya menjadi umat Allah. Jika Yesus tidak menyatakan diri-Nya kepada Paulus, walaupun ia adalah orang yang memiliki latar belakang kebudayaan yang luar biasa, namun ia tetaplah termasuk kedalam kumpulan orang-orang yang sedang berjalan ke arah kebinasaan. Hal inilah yang menyebaban Paulus menjadikan kehendak Kristus sebagai hal yang utama dalam hidupnya. Karena Paulus mengerti apa yang Tuhan kehendaki, bahwa yang Ia inginkan adalah supaya manusia diselamatkan oleh injil, maka Paulus rela kalaupun ia harus meninggalkan kebudayaannya dan memiliki tata cara hidup seperti orang bukan Yahudi, ia rela melakukannya. Karena baginya kebudayaan bukan segala-galanya. Kristuslah yang segala-galanya. Jika bagi Paulus kebudayaan dan adat istiadat itu bukan segala-galanya, namun Yesus yang segala-galanya, bagaimana dengan anda dan saya. Apakah anda dan saya pun memiliki sikap yang sama? Saat kita menjadi orang Kristen, kemudian kita mengabungkan diri dalam gereja, maka ada satu azas yang dipegang oleh gereja, namanya adalah Sola Scriptura. Apa artinya istilah tersebut? Artinya hanya Alkitab yang mutlak dalam hidup kita, hanya kebenaran-kebenaran Tuhan yang dinyatakan dalam Alkitab yang berlaku mutlak dalam hidup kita, dan itu berarti bagi kita yang namanya tradisi dan adat kebiasaan seharunya tidak dianggap sejajar atau setara dengan Alkitab. Namun, realitanya, saat orang Kristen percaya kepada Yesus, mereka terkadang tidak mau melepaskan diri dari ikatan budaya khususnya saat budaya kita tersebut berlawanan dengan kebenaran injil. Saat seseorang mendapati bahwa ada perbedaan prinsipil antara injil dan budaya, kita sering memilih untuk mempertahankan budaya dari pada injil Tuhan. Sebagai contoh, Tuhan mengajarkan kepada kita bahwa ia hanya menciptakan laki-laki dan perempuan; dan pernikahan pun diijinkan hanya antara laki-laki dan perempuan. Persoalannya adalah zaman sekarang berubah; jika sebelumnya pernikahan sejenis dipandang aneh, sekarang pernikahan sejenis dianggap hak azasi manusia; jika dulu seseorang mengatakan dirinya seorang homosexual atau lesbian dianggap hal yang tabu, sekarang banyak orang rame-rame menyatakan dirinya kaum homosexuals, lesbians ataupun trans-genders. Sebaliknya, orang-orang yang tetap berpegang pada prinsip pernikahan laki-laki dan perempuan sekarang ini dipandang sebagai "orang aneh" bahkan dipandang sebagai "haters." Dalam situasi seperti ini kita diperhadapkan pada pilihan untuk mengikuti budaya karena takut dikucilkan atau tetap berpegang pada ajaran kitab suci; kita tetap tegas dengan apa yang benar dan salah namun tetap mengasihi mereka sebagai sesama manusia yang membutuhkan Kristus dalam hidup mereka. Jadi, walaupun kebudayaan memang tidak selalu salah dan negatif, ada warisan adat istiadat dan tradisi tententu yang baik, yang sejalan dengan kitab suci. Misalnya saja tradisi mengenai hormat pada orang tua, tradisi mengenai sopan santun dan tata krama, semuanya itu hal yang baik, dan hal yang baik, yang sejalan dengan kita suci dapat kita pelihara bahkan dapat kita gunakan untuk sarana dalam memberitakan injil. Namun saat budaya kita, saat adat istiadat yang kita miliki berlawanan dengan injil kebenaran Tuhan, mana yang akan kita pegang? Budaya atau Injil kebenaran Tuhan? Inilah yang akan menguji diri kita, inilah yang akan memperlihatkan kepada kita, siapa yang menjadi Tuhan dalam hidup kita.
VipbandarQLounge Etnosentrisme adalah istilah yang mungkin masih asing di telinga banyak orang. Etno sentrisme biasanya dipakai dalam pembelajaran antropologi, dan pembelajaran ilmu sosial lainnya seperti sosiologi dan psikologi. Etnosentrisme berkaitan dengan cara pandang seseorang terhadap suatu kelompok. Cara pandang ini bisa dengan alami hadir dalam pemikiran seseorang di suatu kelompok
Sponsors Link Kesaksian yang ada pada Alkitab dengan perihal yang terkait tentang kehadiran kekristenan di tengah kebudayaan manusia. Tanpa disadari bahwa kebudayaan sudah mengakar pada kehidupan kita, tergantung latar belakang kita, tempat kita berkembang, bagaimana kita dibesarkan dan banyak lainnya dan mengenal prinsip gereja terhadap politik. Maka dari itu adanya kebudayaan yang berkaitan dengan kehidupan beragama harus disingkronkan agar terwujud keselarasan dan keseimbangan dalam menjalani kehidupan bermasyarakat, diantaranya kebudayaan yang berkaitan dengan Iman Kristus sesuai dengan hukum kasih dalam Alkitab adalah Pandangan Hidup Pandangan hidup yang dimaksud disini adalah seperti melihat keyakinan yang dimiliki seseorang dalam agamanya pasti akan memberikan pengaruh pada pandangan hidupnya sesuai dengan sejarah agama kristen. Sikap, tujuan, dan sistem nilai yang terjadi pda kehidupan seseorang akan dipengaruhi oleh pandangan hidupnya. Kenyataan ini yang menjadi tantangan yang cukup memberatkan untuk memberitakan Injil. Hal ini disebabkan oleh tidak mungkinnya manusia untuk meninggalkan pandangan hidupnya ang sudah bertahun-tahun sudah menjadi landasaran pemikiran dan sudah dihayati. Maka dari itu kedatangan Injil yang dianggap sebagai ancaman serius dalam hidupnya. Kesulitan yang terjadi ini hanya dapat ditebus oleh kuasa Roh Kudus yang hanya sanggup memulihkan pandangan hidup yang dimiliki oleh manusia sesuai dengan iman yang dianugerahkan kepada Allah dalam Yesus Kristus dan menjadi tujuan hidup orang kristen. Apabila tidak diterapkan dalam kondisir seperti ini akan terlihat bahwa manusia akan selalu ada kecendrungan untuk inkulturisasi. Pola Hidup Pola hidup manusia merupakan suatu hal yang dipengaruhi oleh kebudayaan dimana dia hidup. Hal ini akan dilakuakan dengan cara keturunan turun-temurun sehingga akan lahirnya adat-istiadat. Pada umumnya adat-istiadat ini dijiwai dan akan berhubungan erat dengan agama yang akan dianut oleh masyarakatnya. Dalam hal pola hidup pun juga merupakan keadaan yang merupakan suatu hambatan untuk melakukan pelayanan Injil. Karena memang Injil dianggap sebagai ancaman yang dapat merubah pola hidup yang telah dimiliki oleh manusia selama hidupnya. Dengan adanya kecendurngan untuk memadukan adanya adat dan Injil seharusnya dapat diperhatikan dalam setiap pelayanan teruntuk mereka-mereka yang baru saja bertobat mengajarkan tentang manfaat berdoa bagi orang kristen. Kebudayan dapat menjadi upaya untuk memisahkan manusia dari sesamanya dan manusia dari Allahnya maka dengan ini sebaliknya adalah Injil yang akan mempersatukan kembali umatnya dngan Allah dan sesamanya Ef 213-18 . Seperti yang diketahui bahwa Injil bukanlah salah satu hasil dari kebudayaan. Injil akan memulihkan manusia yang telah jatuh ke dalam dosa, maka dari itu Injil harus inkernasi dalam keadaan manusia. Hal ini juga ditunjukan pada bentuk-bentuk sejarah yang berupa tempat, yaitu Antiokhia Antiokhia merupakan kota yang menjadi pusat perdagangan yang berisi dnegan hiasan dan bangunan yang megah yang merupakan prestasi manusia modern dengan adanya kuil-kuil untuk pemujaan dewa. Pada titik inilah untuk pertama kalinya pengikut Kristus dapat disebut dengan sebutan orang Kristen, karena diantara jiwa penduduk di kota tersebut yang didiami oleh umat kafir, sekelompok kecil umat Kristiani menunjukan identitasnya sebagai manusia yang telah diperbaharui oleh Kristus Kis 1126. Korintus Korintus merupakan sebuah kota yang menjadi pusat kegiatan perdagangan dan sekaligus kota yang menjadi pusat pemuasan hawa nafsu seks. Dengan adanya Injil, lebih banyak orang percaya dan mengkuduskan kehidupannya dalam Kristus Yesus. Pada kenyataannya kebudayaan orang Korintus ini memang menjadi salah satu faktor yang menghambat terjadinya pertumbuhan iman jemaat. Athena Athena merupakan tempat yang tidak asing untuk diketahui, Athena merupakan kota dan pusat untuk kaum terpelajar yang memiliki penuh dengan berhala. Pada suatu saat Injil diberitakan untuk mendapat tantangan dari kaum intelektualnya. Tetapi pada faktanya yang terjadi adalah Injil malah melampaui akal budi manusia yang dapat dibuktikan dengan lahirnya jemaat di Athena Efensus Efensus juga merupakan kota yang terkenal dengan segala pemujaan kepada Dewi Atemis sehingga kehadiran Injil pada Efensus merupakan suatu ancaman yang besar bagi perkembangan kebudayaan yang dapat dirasakan oleh agama mereka. Kis 19, 25, 27. Namun berlawanan dengan Athena, Efensus lebih menolak Injil dengan kekerasan tetapi tanpa diduga hasil dari penginjilan di efensus lebih besar daripada penginjilan yang terjadi di Athena. Demikian penjelasan mengenai contoh kebudayaan yang sesuai dengan iman kristen. Dalam hal ini Injil selalu dihadapi dengan kelompok yang memiliki moral yang rendah, yang hanya mengejar kepuasan hawa nafsu dan kenikmatan hidup, kaum yang memiliki intelektual, kelompok berbudaya yang dijiwai agama asali, dan fanatisme agama. Hal yang terjadi dalam pertemuan Injil dan kebudayaan adalah dimana Injil akan bersifat untuk menempatkan kebudayaan sebagai sarana untuk menjadi pelayan untuk dapat melengkapi kebutuhan manusia untuk hidup dengan memuliakan Allah. Maka dengan melalui kebudayaan, manusia yang telah menerima adanya Injil akan dapat memancarkan nikmat dan hikmat Ilahi. Semoga bermanfaat dan terimakasih Tuhan memberkati. Perilakupositif yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dapat diterapkan dalam berbagai lingkungan. Misalnya di lingkungan keluarga, sekolah, hingga masyarakat. Mengutip buku PKn 2 (2009) terbitan Depdiknas, berikut ini beragam contoh perilaku positif terhadap sila-sila Pancasila di ketiga lingkungan tersebut: 1. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Sikapyang biasanya diambil adalah merupakan perpaduan antara 2 (dua) atau 3 (tiga) dari 5 sikap tersebut di atas. E. STUDI KASUS Ada banyak pergumulan orang Kristen tentang bagaimana hidup beriman di tengah tradisi atau budaya yang sudah lama menyatu dalam kehidupannya. .
  • ppsm0plzb4.pages.dev/600
  • ppsm0plzb4.pages.dev/974
  • ppsm0plzb4.pages.dev/475
  • ppsm0plzb4.pages.dev/157
  • ppsm0plzb4.pages.dev/16
  • ppsm0plzb4.pages.dev/449
  • ppsm0plzb4.pages.dev/372
  • ppsm0plzb4.pages.dev/743
  • ppsm0plzb4.pages.dev/732
  • ppsm0plzb4.pages.dev/100
  • ppsm0plzb4.pages.dev/10
  • ppsm0plzb4.pages.dev/363
  • ppsm0plzb4.pages.dev/281
  • ppsm0plzb4.pages.dev/868
  • ppsm0plzb4.pages.dev/181
  • sikap kristen terhadap kebudayaan yang tepat adalah